بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. 1: 1)
Para Shahabat radhiyallaahu 'anhum membuka Kitabullah dengan membacanya. Dan para ulama telah sepakat bahwa Bismillaahir Rahmaanir Rahiim adalah salah satu ayat dari surat an-Naml. Tetapi mereka berbeda pendapat, apakah basmalah itu merupakan ayat yang berdiri sendiri pada awal setiap surat, atau merupakan bagian dari awal masing-masing surat dan ditulis pada pembukaannya, atau merupakan salah satu ayat dari setiap surat.
Di antara ulama yang menyatakan bahwa basmalah adalah ayat dari setiap surat kecuali at-Taubah adalah Ibnu 'Abbas, Ibnu 'Umar, Ibnuz Zubair, Abu Hurairah, dan 'Ali radhiyallaahu 'anhum. Sedangkan dari kalangan Tabi'in adalah 'Atha', Thawus, Sa'id bin Jubair, Makhul dan az-Zuhri rahimahumullaah. Hal yang sama juga dikatakan oleh 'Abdullah Ibnul Mubarak, Imam asy-Syafi'i, Ahmad bin Hanbal (menurut satu riwayat), Ishaq bin Rahawaih, dan Abu 'Ubaid al-Qasim bin Sallam rahimahumullaah.
Sedangkan Imam Malik dan Abu Hanifah rahimahumullaah dan orang-orang yang sependapat dengannya mengatakan bahwa basmalah tidak termasuk ayat dari surat al-Faatihah, tidak juga surat-surat yang lain. Dan menurut Dawud, basmalah terletak pada awal setiap surat dan bukan bagian darinya. Demikian pula menurut satu riwayat dari Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah.
Tafsir: Apakah basmalah dibaca sirr (pelan) atau dibaca jahr (keras) pada shalat jahriyah?
Mengenai bacaan basmalah secara jahr (dikeraskan), maka yang berpendapat bahwa basmalah itu bukan termasuk ayat al-Faatihah, ia tidak membacanya secara jahr. Demikian juga yang mengatakan bahwa basmalah adalah satu ayat dari awal al-Faatihah. Adapun mereka yang berpendapat bahwa basmalah merupakan bagian pertama dari setiap surat, dalam hal ini mereka berbeda pendapat. Imam asy-Syafi'i berpendapat bahwa basmalah dibaca secara jahr bersama al-Faatihah dan juga surat-surat lainnya.
Inilah madzhab sekelompok Shahabat, Tabi'in serta para imam, baik Salaf maupun Khalaf. Di antara Shahabat yang membacanya secra jahr adalah Abu Hurairah, Ibnu 'Umar, Ibnu 'Abbas dan Mu'awiyah radhiyallaahu 'anhum. Ibnu 'Abdil Barr dan al-Baihaqi meriwayatkan dari 'Umar dan 'Ali radhiyallaahu 'anhuma. Al-Khatib menukilnya dari khalifah yang empat yakni Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman, dan 'Ali radhiyallaahu 'anhum, dan riwayat ini gharib. Dan dari Tabi'in di antaranya Sa'id bin Jubair, 'Ikrimah, Abu Qilabah, az-Zuhri, 'Ali bin al-Hasan dan anaknya yakni Muhammad, Sa'id bin al-Musayyab, 'Atha', Thawus, Mujahid, Salim, Muhammad bin Ka'ab al-Qurazhi, Abu Bakar bin Muhammad bin 'Amr bin Hazm, Abu Wa-il, Ibnu Sirin, Muhammad bin al-Munkadir, 'Ali bin 'Abdillah bin 'Abbas dan anaknya yakni Muhammad, Nafi' maula Ibnu 'Umar, Zaid bin Aslam, 'Umar bin 'Abdil 'Aziz, al-Azraq bin Qais, Habib bin Abi Tsabit, Abu asy-Sya'tsa', Mak-hul, dan 'Abdullah bin Ma'qil bin Muqrin. Al-Baihaqi menambahkan: 'Abdullah bin Shafwan dan Muhammad bin al-Hanafiyah. Sementara Ibnu 'Abdil Barr menambahkan: 'Amr bin Dinar.
Dalil yang digunakan oleh orang yang berpendapat bahwa basmalah harus dibaca secara jahr, -pent.
Alasannya karena basmalah termasuk bagian dari surat al-Faatihah. Maka ia pun dibaca keras sebagaimana ayat-ayat lainnya. Demikian juga telah diriwayatkan oleh an-Nasa-i dalam kitab Sunan, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahiih keduanya, serta al-Hakim dalam al-Mustadrak dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu bahwasanya ia mengerjakan shalat dan membaca basmalah secara jahr. Setelah selesai ia mengatakan: "Aku telah mempraktekkan shalat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam kepada kalian." Hadits ini dishahihkan oleh ad-Daraquthni, al-Khatib, al-Baihaqi dan lain-lain. (26)
Dalam Shahiih al-Bukhari disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallaahu 'anhu, bahwa ia pernah ditanya tentang shalat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, maka ia menjawab: "Bacaan beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam itu (kalimat demi kalimat) sesuai dengan panjang pendeknya." Kemudian Anas membaca bismillaahir rahmaanir rahiim, dengan memanjangkan kalimat bismillaah, lalu ar-Rahmaan dan ar-Rahiim (dengan memanjangkan bagian-bagian yang perlu dipanjangkan)." (27)
Dan diriwayatkan dalam Musnad al-Imam Ahmad, Sunan Abi Dawud, Shahiih Ibni Khuzaimah, dan Mustadrak al-Hakim dari Ummu Salamah radhiyallaahu 'anha, ia berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam biasa memutus bacaan beliau di setiap akhir ayat: Bismillaahir Rahmaanir Rahiim. Al-Hamdulillaahi Rabbil 'aalamiin. Ar-Rahmaanir Rahiim. Maaliki yaumid diin."
Dan ad-Daraquthni mengatakan: "Sanad-sanadnya shahih." (28)
Adapun Imam Abu 'Abdillah asy-Syafi'i dan al-Hakim dalam kitab Mustadraknya meriwayatkan dari Anas radhiyallaahu 'anhu, bahwasanya Mu'awiyah radhiyallaahu 'anhu mengerjakan shalat di Madinah dan ia meninggalkan basmalah (tidak membacanya secara jahr), maka hal itu diingkari oleh para Shahabat Muhajirin radhiyallaahu 'anhum. Lalu Mu'awiyah mengerjakan shalat untuk kedua kalinya dengan membaca basmalah secara jahr." (29)
Hadits-hadits dan atsar yang kami sebutkan di atas kiranya sudah cukup menjadi hujjah bagi pendapat ini atas pendapat yang menentangnya. Adapun tentang riwayat-riwayat lain yang bertentangan dan asing, tentang jalur-jalurnya, cacat-cacat, kedha'ifan, serta penetapannya dijelaskan pada tempat yang lain.
Beberapa pendapat lain mengenai bacaan basmalah beserta dalilnya, -pent.
Sebagian ulam lainnya berpendapat bahwa basmalah tidak dibaca secara jahr dalam shalat. Inilah yang shahih dari para khalifah yang empat radhiyallaahu 'anhum, 'Abdullah bin Mughaffal, dan beberapa golongan ulama Salaf maupun Khalaf. Ini pula yang menjadi pendapat madzhab Abu Hanifah, ats-Tsauri dan Ahmad bin Hanbal rahimahumullaah.
Adapun menurut Imam Malik, basmalah tidak dibaca sama sekali, baik secara jahr maupun sirr. Mereka berdalil dengan hadits yang terdapat dalam Shahiih Muslim dari 'Aisyah radhiyallaahu 'anhuma, ia berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam membuka shalat dengan takbir dan bacaan al-hamdu lillaahi Rabbil 'aalamiin." (30)
Diriwayatkan pula dalam Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim dari Anas bin Malik radhiyallaahu 'anhu, ia menceritakan: "Aku pernah mengerjakan shalat di belakang Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, Abu Bakar, 'Umar, dan 'Utsman. Mereka semua membuka shalat dengan bacaan al-hamdu lillaahi Rabbil 'aalamiin."
Dan menurut riwayat Muslim: "Mereka tidak menyebutkan 'Bismillaahir Rahmaanir Rahiim' pada awal bacaan dan tidak juga pada akhirnya." (31) (32)
Hal senada juga terdapat dalam kitab Sunan, diriwayatkan dari 'Abdullah bin Mughaffal radhiyallaahu 'anhu. (33)
Demikianlah dasar-dasar pengambilan pendapat para imam mengenai masalah ini. Pendapat mereka tidaklah jauh berbeda, karena mereka semua sepakat bahwa orang yang shalat, baik membaca bismillah secara jahr maupun secara sirr keduanya adalah sah. Segala pujian dan sanjungan hanyalah milik Allah 'Azza wa Jalla.
Pasal: Keutamaan basmalah
Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya meriwayatkan dari seorang yang dibonceng oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, ia berkata: "Tunggangan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tergelincir, maka aku katakan: 'Celaka syaitan.' Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
'Janganlah engkau mengucapkan: 'Celaka syaitan'. Karena jika engkau mengucapkannya, maka ia akan membesar dan berkata: 'Dengan kekuatanku, aku jatuhkan dia'. Dan jika engkau mengucapkan 'bismillah', maka ia akan menjadi kecil hingga seperti seekor lalat.'" (34)
Dan an-Nasa-i juga meriwayatkan dalam 'Amalul Yaum wal Lailah dan Ibnu Mardawaih dalam kitab tafsirnya dari Usamah bin 'Umair, ia berkata: "Aku pernah dibonceng oleh Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam", lalu ia menyebutkan kejadiannya, dan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Jangan mengucapkan itu, karena syaitan akan membesar seperti rumah. Akan tetapi ucapkanlah: 'Bismillaah', niscaya ia akan menjadi kecil seperti seekor lalat." (35)
Ini merupakan berkah dari ucapan "bismillaah."
Disunnahkan membaca basmalah sebelum memulai setiap pekerjaan
Oleh karena itu disunnahkan membaca basmalah pada awal setiap ucapan maupun perbuatan. Disunnahkan juga membacanya pada awal khutbah berdasarkan dalil yang ada. Dan juga disunnahkan membacanya sebelum masuk ke kamar kecil (toilet), berdasarkan hadits dalam masalah itu. (36)
Demikian juga sebelum berwudhu' berdasarkan hadits dalam Musnad al-Imam Ahmad dan juga dalam kitab Sunan dari riwayat Abu Hurairah, Sa'id bin Zaid dan Abu Sa'id radhiyallaahu 'anhum secara marfu', Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Tidak sempurna wudhu' bagi orang yang tidak menyebut Nama Allah (mengucapkan basmalah) padanya." (37) Hadits ini hasan.
Demikian pula disunnahkan membacanya sebelum makan, berdasarkan hadits dalam Shahiih Muslim, bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah bersabda kepada anak tiri beliau, 'Umar bin Abi Salamah:
"Ucapkan 'bismillaah', makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang dekat darimu." (38)
Meski demikian, sebagian ulama ada yang mewajibkannya.
Disunnahkan juga membacanya ketika hendak berjima' (berhubungan badan), berdasarkan hadits dalam kitab Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim, dari Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma, bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Seandainya salah seorang dari kalian hendak mencampuri isterinya ia membaca:
بِاسْمِ اللَّهِ, اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا
'Bismillaah, Allaahumma jannibnasy syai-thaana wa jannibisy syai-thaana maa razaqtanaa
(Dengan menyebut Nama Allah, jauhkanlah kami dari syaitan dan jauhkanlah syaitan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami)', maka jika Allah menakdirkan lahirnya anak, maka anak itu tidak akan diganggu oleh syaitan selamanya." (39)
Kata-kata apakah seolah-olah dihilangkan sebelum atau sesudah lafazh 'Bismillaah' (Dengan (menyebut) Nama Allah)
Dari uraian di bawah ini jelaslah bagi kita bahwa dua pendapat di kalangan ahli nahwu dalam masalah apa yang dikaitkan dengan huruf ba' pada ucapan 'Bismillaah', apakah ia isim (kata benda) ataukah fi'il (kata kerja), bahwa kedua pendapat ini berdekatan. Dan keduanya terdapat di dalam al-Qur-an. Adapun mengaitkannya dengan isim, maka taqdir kalimatnya adalah bismillaah ibtida-i (permulaan) seperti firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:
"Dan Nuh berkata: 'Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut Nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.' Sesungguhnya Rabbku benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Huud: 41)
Adapun mengaitkannya dengan fi'il, baik amr atau khabar, misalnya: ibda' (mulailah) dengan bismillaah atau ibtada'-tu (aku memulai) dengan bismillaah, seperti firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:
"Bacalah dengan (menyebut) Nama Rabbmu Yang menciptakan." (QS. Al-'Alaq: 1)
Keduanya benar, karena fi'il pasti memiliki mashdar. Maka engkau mentaqdirkan fi'il dan mashdarnya. Dan itu berkaitan dengn fi'il yang engkau sebutkan sebelumnya, seperti qiyaaman (berdiri), qu'uudan (duduk), akalan (makan), wudhuu-an (wudhu'), atau shalaatan (shalat). Maka yang disyari'atkan adalah menyebut Nama Allah sebelum memulai semua itu, untuk meraih berkah, kebaikan dan pertolongan agar pekerjaan itu sempurna dan dapat diterima. Wallaahu a'lam.
Makna Lafzhul Jalaalah (اللّه)
(Allah) merupakan nama untuk Rabb Tabaaraka wa Ta'aala. Dikatakan bahwa Allah adalah al-ismul a'zham (nama yang paling agung), karena nama itu menyandang semua sifat. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:
"Dialah Allah Yang tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah Yang tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang Memiliki segala Keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk rupa, Yang mempunyai Nama-nama yang paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (QS. Al-Hasyr: 22-24)
Dengan demikian semua Nama-nama yang baik itu merupakan sifat-Nya, sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:
"Hanya milik Allahlah Asma-ul Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma-ul Husna itu." (QS. Al-A'raaf: 180)
Dan Dia juga berfirman:
"Katakanlah: 'Serulah Allah atau serulah ar-Rahmaan. Dengan Nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asma-ul Husna (Nama-nama yang terbaik)." (QS. Al-Israa': 110)
Dalam kitab Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim diriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah memiliki 99 (sembilan puluh sembilan) Nama, seratus kurang satu. Barangsiapa menjaganya, niscaya ia masuk Surga." (40)
Tafsir ar-Rahmaan ar-Rahiim
"...Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." (QS. 1: 1)
Ar-Rahmaan ar-Rahiim merupakan dua Nama dalam bentuk mubalaghah (bermakna lebih) yang berasal dari satu kata ar-Rahmaan. Namun, Nama ar-Rahmaan memiliki makna yang lebih dari ar-Rahiim.
Dalam pernyataan Ibnu Jarir, dapat dipahami adanya kesepakatan mengenai hal ini.
Al-Qurthubi mengatakan bahwa dalil yang menunjukkan bahwa nama ini musytaq (terbentuk) dari kata lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dari 'Abdurrahman bin 'Auf radhiyallaahu 'anhu bahwasanya ia mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Allah Ta'ala berfirman: 'Aku adalah ar-Rahmaan, Aku telah menciptakan rahim (kekerabatan). Aku telah menjadikan untuknya nama dari Nama-Ku. Barangsiapa menyambungnya, maka Aku akan menyambungnya. Dan barangsiapa memutuskannya, maka Aku akan memutuskannya." (41)
Al-Qurthubi berkata: "Ini merupakan nash bahwa nama tersebut musytaq. Dan pengingkaran orang-orang Arab terhadap Nama ar-Rahmaan disebabkan kejahilan mereka tentang Allah dan apa yang wajib bagi-Nya."
Al-Qurthubi berkata: "Kemudian dikatakan, keduanya memiliki satu makna, misalnya kata nadmaan dan nadiim, demikian dikatakan oleh Abu 'Ubaid. Ada juga yang mengatakan bahwasanya timbangan kata fa'laan tidak seperti fa'iil. Karena fa'laan tidak digunakan kecuali pada fi'il yang memiliki makna lebih, seperti perkataanmu rajulun ghadh-baanun untuk menyebut seorang laki-laki yang kemarahannya memuncak. Adapun fa'iil terkadang bermakna faa'ilun (subyek) atau maf'uulun (obyek).
Abu 'Ali al-Farisi berkata: "Ar-Rahmaan merupakan Nama yang bersifat umum meliputi segala bentuk rahmat, dan dikhususkan bagi Allah semata. Sedangkan ar-Rahiim ditujukan bagi orang-orang yang beriman. Allah berfirman: "Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman." (QS. Al-Ahzaab: 43)
Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma berkata: "Keduanya adalah dua nama yang mengandung kelembutan. Dan salah satunya lebih lembut dari yang lainnya, yakni lebih banyak mengandung rahmat." (42)
Ibnu Jarir meriwayatkan: Telah berkata kepada kami as-Sarri bin Yahy at-Tamimi, telah berkata kepada kami 'Utsman bin Zufar, aku mendengar al-'Azrami berkata tentang ar-Rahmaan ar-Rahiim, ia berkata: "Ar-Rahmaan untuk seluruh makhluk dan ar-Rahiim untuk orang-orang yang beriman." (43)
Mereka mengatakan: Karena itulah Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman: "Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah." (QS. Al-Furqaan: 59)
Dan Dia berfirman: "(Yaitu) Yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas 'Arsy." (QS. Thaahaa: 5)
Dia menyebutkan istiwa' (bersemayam) dengan Nama ar-Rahmaan untuk meliputi seluruh makhluk dengan rahmat-Nya.
Tetapi Dia berfirman: "Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman." (QS. Al-Ahzaab: 43)
Dalam ayat ini Dia mengkhususkan dengan Nama ar-Rahiim.
Mereka mengatakan: "Ini menunjukkan bahwa Nama ar-Rahmaan, lebih mengandung rahmat karena keumumannya di dua negeri (dunia dan akhirat) dan untuk seluruh makhluk-Nya. Adapun ar-Rahiim dikhususkan bagi orang-orang yang beriman. Akan tetapi disebutkan dalam sebuah do'a Rasulullah: "Rahmaan (Pengasih) di dunia dan akhirat dan Rahiim (Penyayang) pada keduanya." (Dalam do'a ini Rahmaan dan Rahiim meliputi dunia dan akhirat, -pent).
Nama ar-Rahmaan khusus bagi Allah dan tidak boleh diberikan kepada selain-Nya. Sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:
"Katakanlah: 'Serulah Allah atau serulah ar-Rahmaan. Dengan Nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asmaa-ul Husna (Nama-nama yang terbaik)." (QS. Al-Israa': 110)
Dan juga firman-Nya:
"Dan tanyakanlah kepada Rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelummu: 'Adakah Kami menentukan ilah-ilah untuk diibadahi selain Allah Yang Maha Pemurah?" (QS. Az-Zukhruf: 45)
Oleh karena itu ketika Musailamah al-Kadzdzab dengan kesombongannya menamakan dirinya dengan Rahmaanul Yamamah, maka Allah memakaikan kepadanya pakaian kebohongan (al-Kadzdzab), sehingga dia terkenal dengannya. Dia tidak dipanggil melainkan dengan sebutan Musailamah al-Kadzdzab (Musailamah si pendusta). Maka jadilah ia perlambang kebohongan bagi penduduk kota maupun penduduk desa dari kalangan Arab badui.
Oleh karena itulah didahulukan Nama Allah yang tidak bisa dipakai oleh selain-Nya. Dan menyifatkan Allah terlebih dahulu dengan sifat ar-Rahmaan yang tidak boleh disandang oleh selain-Nya, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:
"Katakanlah: 'Serulah Allah atau serulah ar-Rahmaan. Dengan Nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asmaa-ul Husna (Nama-nama yang terbaik)." (QS. Al-Israa': 110)
Musailamah telah menyombongkan diri dan menamakan dirinya dengan nama ini (Rahmaan). Dan tidak ada yang mengikutinya dalam hal ini kecuali orang yang bersamanya dalam kesesatan.
Adapun ar-Rahiim, Allah Subhaanahu wa Ta'aala telah menyifatkan selain diri-Nya dengan nama ini. Dia berfirman:
"Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin." (QS. At-Taubah: 128)
Sebagaimana Allah telah menyifatkan selain diri-Nya dengan Nama-Nya yang lain. Sebagaimana firman-Nya:
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat." (QS. Al-Insaan: 2)
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa di antara Nama-nama Allah ada yang boleh diberikan kepada selain diri-Nya, dan ada juga yang tidak boleh diberikan kepada selain-Nya, seperti nama ar-Rahmaan, al-Khaaliq, ar-Razzaaq dan lain sebagainya.
Oleh karena itulah, Dia memulai dengan Nama-Nya (yang paling terkenal), yaitu Allah dan kemudian menyifati-Nya dengan ar-Rahmaan, karena ar-Rahmaan lebih khusus dan lebih dikenal daripada ar-Rahiim. Nama yang disebut lebih dulu adalah nama yang paling mulia, oleh karena itu Dia memulai dengan menyebut Nama-Nya yang lebih khusus, dan seterusnya.
Telah disebutkan dalam hadits Ummu Salamah radhiyallaahu 'anha bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam biasa memutus bacaan beliau huruf demi huruf (ayat demi ayat): Bismillaahir Rahmaanir Rahiim. Al-Hamdulillaahi Rabbil 'aalamiin. Ar-Rahmaanir Rahiim. Maaliki yaumid diin.
Maka sebagian ulama pun membacanya demikian. Tetapi di antara mereka ada pula yang menyambung bismillaahir Rahmaanir Rahiim dengan ayat al-Hamdulillaahi Rabbil 'aalamiin.
===
(26) An-Nasa-i 2/134, Ibnu Khuzaimah 1/251, Shahiih Ibni Hibban 3/143, al-Hakim 1/232, ad-Daraquthni 1/305, dan al-Baihaqi 2/46.
(27) Fat-hul Baari 8/709. Al-Bukhari no. 5046.
(28) Ahmad 6/302, Abu Dawud 4/294, Ibnu Khuzaimah 1/248, al-Hakim 2/231, dan ad-Daraquthni 1/307.
(29) Musnad al-Imam asy-Syafi'i 1/80 dan al-Hakim 1/233.
(30) Ibnu Abi Hatim 1/12. Muslim no. 498(240).
(31) Fat-hul Baari 2/265, dan Muslim 1/299. Al-Bukhari no. 743, Muslim no. 399.
(32) Al-Hafizh berkata dalam Buluughul Maraam: "Dalam riwayat Ahmad, an-Nasa-i dan Ibnu Khuzaimah disebutkan: "Mereka tidak menjahrkan 'Bismillaahir Rahmaanir Rahiim', dan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah yang lain disebutkan: "Mereka membacanya secara sirr." Oleh karena itulah penafian dalam riwayat Muslim dibawakan kepada makna ini.
(33) At-Tirmidzi no. 244. Ibnu Majah no. 815. Dha'if: Didha'ifkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam kitabnya Dha'iif Sunan at-Tirmidzi no. 39 dan Dha'iif Sunan Ibni Majah no. 174.
(34) Ahmad 5/59. Shahih: Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiihul Jaami' no. 7401.
(35) An-Nasa-i dalam al-Kubra 6/142.
(36) 'Aunul Ma'buud 1/6. Lihat pula Shahiihul Jaami' no. 3610.
(37) Ahmad 3/410, Abu Dawud 1/75, Tuhfatul Ahwadzi 1/115, an-Nasa-i 1/61 dan Ibnu Majah 1/140. Shahih: Abu Dawud no. 101, at-Tirmidzi no. 25, Ibnu Majah no. 399. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib no. 203.
(38) Muslim 3/1600. Al-Bukhari no. 5376, 5378 dengn perbedaan lafazh, Muslim no. 2022.
(39) Fat-hul Baari 9/136 dan Muslim 2/1058. Al-Bukhari no. 141, Muslim no. 1434.
(40) Fat-hul Baari 11/218, dan Muslim 4/2062. Al-Bukhari no. 2736, 7392, Muslim no. 2677(6).
(41) Tuhfatul Ahwadzi 6/33. Shahiih lighairihi: Abu Dawud no. 1694, at-Tirmidzi no. 1907. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih at-Targhiib no. 2528.
(42) Al-Qurthubi 1/105.
(43) Tafsiir ath-Thabari 1/127.
===
Maraji'/ sumber: http://baitulkahfitangerang.blogspot.co.id/search/label/shahih%20tafsir%20ibnu%20katsir%20jilid%201
===
Baca juga:
Tafsir Ibnu Katsir: Surat al-Faatihah
Inilah tafsir surat al-Fatihah ayat 1 dalam blog Tafsir.