Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. 1:1) Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. (QS. 1:2) Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. 1:3) Yang menguasai hari Pembalasan. (QS. 1:4) Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. (QS. 1:5) Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus. (QS. 1:6) (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. 1:7)
Tafsir al-Fatihah Ibnu Katsir. Nama al-Faatihah dan maknanya.
Surat ini disebut al-Faatihah (pembuka) yang maknanya adalah pembuka kitab secara tertulis. Dengan surat inilah dibukanya bacaan dalam shalat. Surat ini disebut juga Ummul Kitab (induk al-Qur-an) berdasarkan pendapat jumhur.
At-Tirmidzi telah meriwayatkan sebuah hadits dan ia menshahihkannya dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
'Al-Hamdulillaahi Rabbil 'Aalamiin adalah Ummul Qur-aan, Ummul Kitaab dan as-Sab'ul Matsaani (tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang) dan al-Qur-aanul 'Azhiim.'" (*)
Surat al-Faatihah disebut juga al-Hamdu dan ash-Shalaah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ketika meriwayatkan dari Rabbnya, Dia berfirman:
"Aku membagi ash-Shalaah antara diri-Ku dan hamba-Ku menjadi dua bagian. Jika seorang hamba mengucapkan 'Al-Hamdulillaahi Rabbil 'Aalamiin', maka Allah Ta'ala berfirman: 'Hamba-Ku telah memuji-Ku.'" (1)
Surat al-Faatihah disebut ash-Shalaah karena termasuk syarat sahnya shalat.
Surat al-Faatihah disebut juga ar-Ruqyah berdasarkan hadits Abu Sa'id ketika ia meruqyah seorang laki-laki yang terkena sengatan dengan surat ini, maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Tidakkah engkau tahu bahwa al-Faatihah itu adalah ruqyah?" (2)
Surat ini termasuk surat Makkiyah (diturunkan sebelum hijrah ke Madinah). Demikian yang dikatakan Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma, Qatadah, dan Abul 'Aliyah, berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala, "Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang." (QS. Al-Hijr: 87)
Wallaahu a'lam.
Jumlah ayatnya
Surat ini terdiri dari tujuh ayat tanpa ada perselisihan. Dan basmalah () adalah satu ayat berdiri sendiri pada awal surat al-Faatihah, sebagaimana pendapat jumhur Qurra' dan kufah. Dan juga merupakan pendapat sejumlah Shahabat, Tabi'in, dan ulama Khalaf.
Jumlah kata dan hurufnya
Mereka mengatakan, "Surat al-Faatihah terdiri dari 25 kata dan 113 huruf."
Mengapa dinamakan Ummul Kitaab?
Al-Bukhari berkata di awal kitab tafsir: "Disebut Ummul Kitaab karena al-Faatihah ditulis pada permulaan al-Qur-an dan dibaca pada permulaan shalat." (3)
Ada yang mengatakan: "Disebut Ummul Kitaab karena seluruh makna al-Qur-an kembali kepada apa yang dikandungnya."
Ibnu Jarir mengatakan: "Orang Arab menyebut kata 'umm' untuk semua yang mencakup atau mendahului sesuatu jika ia memiliki perkara-perkara yang mengikutinya dan ia sebagai pemuka baginya. Seperti ummur ra'-si adalah sebutan untuk kulit yang meliputi otak. Dan mereka menyebut bendera dan panji tempat berkumpulnya pasukan di bawahnya dengan sebutan umm." Ia mengatakan: "Kota Makkah disebut Ummul Quraa karena keberadaannya terlebih dahulu dan ia sebagai penghulu bagi kota-kota lainnya. Ada yang mengatakan: 'Disebut Ummul Quraa karena bumi terbentang darinya'." (4)
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bahwa beliau bersabda tentang Ummul Qur-aan:
"Dia adalah Ummul Qur-aan, dia adalah as-Sab'ul Matsaani dan dia adalah al-Qur-aanul 'Azhiim." (5)
Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
"Ia adalah Ummul Qur-aan, ia adalah Faatihatul Kitaab dan ia adalah as-Sab'ul Matsaani." (6)
Keutamaan al-Faatihah
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah meriwayatkan dalam Musnadnya dari Abu Sa'id bin Mu'alla rahimahullaah, ia berkata: "Aku pernah mengerjakan shalat, kemudian Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memanggilku, tetapi aku tidak menjawabnya hingga aku menyelesaikan shalat. Setelah itu aku mendatangi beliau, maka beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bertanya: 'Apa yang menghalangimu untuk datang kepadaku?' Maka aku menjawab: 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya tadi aku sedang mengerjakan shalat.' Lalu beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: 'Bukankah Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
'Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada apa yang memberi kehidupan kepadamu'. (QS. Al-Anfaal: 24)?
Setelah itu beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: 'Aku akan mengajarkan kepadamu satu surat yang paling agung dalam al-Qur-an sebelum engkau keluar dari masjid ini.' Maka beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menggandeng tanganku. Dan ketika beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam hendak keluar dari masjid, aku mengatakan: 'Wahai Rasulullah, engkau tadi mengatakan akan mengajarkan kepadaku surat yang paling agung dalam al-Qur-an.' Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
'Benar, al-Hamdulillaahi Rabbil 'Aalamiin adalah as-Sab'ul Matsaani dan al-Qur-aanul 'Azhiim yang telah diturunkan kepadaku'." (7)
Demikian pula diriwayatkan oleh al-Bukhari, (8) Abu Dawud, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah. (9)
Hadits lain, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Fadhaa-ilul Qur-aan dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallaahu 'anhu: "Kami pernah melakukan suatu perjalanan, lalu kami singgah. Kemudian datanglah seorang budak wanita seraya berkata: 'Sesungguhnya kepala suku kami tersengat, dan orang-orang kami sedang tidak ada di tempat. Apakah di antara kalian ada yang bisa meruqyah?' Maka berangkatlah bersamanya seorang laki-laki yang kami tidak pernah menyangka bahwa ia bisa meruqyah. Kemudian ia membacakan ruqyah dan kepala suku itu pun sembuh. Lalu kepala suku itu memerintahkan agar ia diberi tiga puluh ekor kambing dan kami diberi minum susu. Setelah kembali kami bertanya kepadanya: 'Apakah engkau memang pandai dan biasa meruqyah?' Maka ia menjawab: 'Aku tidak meruqyah kecuali dengan Ummul Kitaab (al-Faatihah).' Kami katakan: 'Jangan melakukan apa pun hingga kita menemui Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan menanyakan hal itu kepada beliau.' Sesampainya di Madinah kami menceritakan hal itu kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, maka beliau bersabda:
'Bagaimana ia tahu bahwa surat al-Faatihah itu adalah ruqyah? Bagi-bagilah kambing itu dan berikan satu bagian kepadaku'." (10)
Hadits lain, diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahiihnya dan an-Nasa-i dalam Sunannya dari Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma, ia berkata: "Ketika Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam tengah bersama Malaikat Jibril, tiba-tiba terdengar suara keras dari atas. Maka Jibril mengarahkan pandangannya ke langit seraya berkata: 'Itu adalah dibukanya sebuah pintu di langit yang belum pernah dibuka sebelumnya.'" Ibnu 'Abbas melanjutkan: "Dari pintu itu turunlah satu Malaikat dan menemui Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam seraya berkata: 'Sampaikanlah kabar gembira kepada ummatmu tentang dua cahaya. Kedua cahaya itu telah diberikan kepadamu dan belum pernah diturunkan kepada seorang Nabi pun sebelummu, yaitu Faatihatul Kitaab dan beberapa ayat terakhir surat al-Baqarah. Tidaklah engkau membaca satu huruf darinya melainkan akan diberikan pahala kepadamu.'" Ini adalah lafazh dalam riwayat an-Nasa-i dan riwayat Muslim senada dengannya. (11)
Al-Faatihah dalam shalat
Hadits lain diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
"Barangsiapa yang mengerjakan shalat tanpa membaca Ummul Qur-an di dalamnya, maka shalatnya kurang... kurang... kurang, yakni tidak sempurna." Dikatakan kepada Abu Hurairah: "(Bagaimana jika) kami berada di belakang imam?" Maka Abu Hurairah berkata: "Bacalah al-Faatihah itu secara sirr (hanya terdengar oleh diri sendiri), karena aku pernah mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: 'Allah 'Azza wa Jalla berfirman: 'Aku telah membagi ash-Shalaah (bacaan al-Faatihah) menjadi dua bagian antara diri-Ku dengan hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta. Jika ia mengucapkan: 'Al-Hamdulillaahi Rabbil 'Aalamiin,' maka Allah berfirman: 'Hamba-Ku telah memuji-Ku.' Jika ia mengucapkan, 'Ar-Rahmaanir Rahiim,' maka Allah berfirman: 'Hamba-Ku telah menyanjung-Ku.' Jika ia mengucapkan: 'Maaliki yaumid Diin,' maka Allah berfirman: 'Hamba-Ku telah memuliakan-Ku.'" Dan Abu Hurairah pernah mengatakan: "(Allah berfirman:) 'Hamba-Ku telah berserah diri kepada-Ku.' Jika ia mengucapkan: 'Iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin,' maka Allah berfirman: 'Ini adalah antara diri-Ku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.' Dan jika ia mengucapkan: 'Ihdinash shiraathal mustaqiim, shiraathal ladziina an'amta 'alaihim ghairil maghdhuubi 'alaihim waladh dhaalliin,' maka Allah berfirman: 'Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta'."
Demikianlah yang diriwayatkan oleh an-Nasa-i dan dalam lafazh riwayat Muslim dan an-Nasa-i disebutkan: "Setengahnya untuk-Ku dan setengah lagi untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta." (12)
Pembahasan tentang hadits ini dan khususnya berkaitan dengan al-Faatihah
Dalam hadits di atas disebutkan kata "shalat (qasamtush shalaat)", dan yang dimaksud adalah bacaan, sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala: "Janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara keduanya." (QS. Al-Israa': 110)
Maksud "suaramu" yakni "bacaanmu", sebagaimana dijelaskan dalam riwayat yang shahih dari Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma. (13)
Demikian juga Allah berfirman dalam hadits qudsi ini: "Aku telah membagi shalat (bacaan al-Faatihah) menjadi dua bagian antara diri-Ku dan hamba-Ku. Separuh untuk diri-Ku dan separuh untuk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta."
Kemudian Allah menjelaskan pembagian itu secara rinci dalam bacaan al-Faatihah. Ini menunjukkan agungnya bacaan al-Faatihah dalam shalat dan itu merupakan rukun yang utama. Di sini disebutkan ibadah (shalat) sedang yang dimaksud adalah satu bagian darinya yaitu bacaan shalat. Sebagaimana disebutnya kata qur-aan (bacaan), sedangkan yang dimaksud adalah shalat, seperti dalam firman Allah: "Dan (dirikanlah pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat Shubuh itu disaksikan (oleh Malaikat)." (QS. Al-Israa': 78)
Sebagaimana disebutkan secara jelas dalam kitab Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim: "Shalat Shubuh itu disaksikan oleh Malaikat malam dan Malaikat siang." (14)
Wajibnya membaca al-Faatihah dalam setiap shalat baik sebagai imam, makmum ataupun shalat sendirian
Seluruh penjelasan di atas menunjukkan bahwa bacaan al-Faatihah dalam shalat merupakan suatu hal yang wajib menurut kesepakatan para ulama. Hal ini ditunjukkan oleh hadits yang telah disebutkan sebelumnya, yakni sabda Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:
"Barangsiapa mengerjakan shalat tanpa membaca Ummul Qur-aan di dalamnya, maka shalatnya kurang." (15)
Yang dimaksud dengan khidaaj adalah kurang, yakni tidak sempurna sebagaimana dijelaskan dalam lanjutan hadits tersebut.
Disebutkan juga dalam kitab Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim, sebuah hadits dari 'Ubaidah bin ash-Shamit radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
'Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab (surat al-Faatihah).'" (16)
Demikian pula hadits yang tercantum dalam Shahiih Ibni Khuzaimah dan Shahiih Ibnu Hibban dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Tidak sah shalat yang di dalamnya tidak dibacakan Ummul Qur-aan." (17)
Hadits-hadits dalam bab ini sangatlah banyak. Maka setiap orang yang shalat wajib membaca Faatihatul Kitaab baik ia sebagai imam, makmum ataupun shalat munfarid (sendirian) dalam setiap shalat dan dalam setiap raka'at.
Tafsir al-Isti'aadzah dan hukum-hukumnya
Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang lain mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-A'raaf: 199-200)
Allah juga berfirman:
"Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan (perbuatan) yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah, 'Ya Rabbku, aku berlindung kepada-Mu dari bisikan-bisikan syaitan. Dan aku berlindung (pula) kepada-Mu ya Rabbku, dari kedatangan mereka kepadaku." (QS. Al-Mu'-minuun: 96-98)
Dan Allah Ta'ala berfirman:
"Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang di antara kamu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Fushshilat: 34-36)
Tidak ada ayat lain yang memiliki makna seperti tiga ayat di atas. Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan manusia agar beramah tamah dengan musuh dari kalangan manusia dan berbuat baik kepadanya, sehingga dapat mengembalikannya kepada tabi'at asalnya, yakni sebagai teman dan sahabat. Sebaliknya, Allah memerintahkan agar memohon perlindungan kepada-Nya dari syaitan dari jenis jin. Karena dia tidak menerima ramah-tamah maupun kebaikan. Ia tidak menghendaki sesuatupun, kecuali kebinasaan anak Adam. Hal ini disebabkan karena kerasnya permusuhan antara dia dengan anak Adam, sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:
"Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan, sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari Surga." (QS. Al-A'raaf: 27)
Allah juga berfirman:
"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni Neraka yang menyala-nyala." (QS. Faathir: 6)
Dan Dia berfirman:
"Patutkah kamu mengambil dia dan turunan-turunannya sebagai pemimpin selain-Ku, sedangkan mereka adalah musuhmu. Amat buruklah (iblis) itu sebagai pengganti (Allah) bagi orang-orang yang zhalim." (QS. Al-Kahfi: 50)
Syaitan telah bersumpah kepada bapak kita Adam 'alaihis salaam bahwa dia adalah pemberi nasihat baginya, padahal dia berdusta. Lalu bagaimana pula mu'amalah syaitan dengan kita? Sementara mereka telah berkata: "Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas di antara mereka." (QS. Shaad: 82-83)
Allah juga berfirman:
"Apabila kamu membaca al-Qur-an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Sesungguhnya syaitan itu tidak memiliki kekuasaan atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Rabbnya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya pemimpin dan atas orang-orang yang menyekutukannya dengan Allah." (QS. An-Nahl: 98-100)
Isti'aadzah sebelum membaca al-Qur-an
Makna firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:
"Apabila kamu membaca al-Qur-an, hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk." (QS. An-Nahl: 98)
Yakni jika engkau hendak membaca, (maka sebelumnya bacalah isti'aadzah (a'uudzu billaahi minasy syaithaanir rajiim)) sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala: "Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah dan tanganmu." (QS. Al-Maa-idah: 6)
Yakni, jika engkau hendak mengerjakan shalat, (maka berwudhu'lah terlebih dahulu).
Hal ini juga berdasarkan hadits-hadits Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam:
Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Apabila Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam hendak mengerjakan shalat malam, maka beliau membuka shalatnya dengan bertakbir seraya mengucapkan:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَرَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ
Sub-haanakallaahumma wa bihamdika wa tabarakasmuka wa ta'aala jadduka wa laa ilaaha ghairuka
'Mahasuci Engkau ya Allah, dan segala puji bagi-Mu. Mahaagung Nama-Mu dan Mahatinggi kemuliaan-Mu. Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau.'
Kemudian beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam membaca:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Laa ilaaha illallaah
Tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah.
Sebanyak tiga kali.
Setelah itu beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengucapkan:
أَعُوْذُ بِاللَّهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
A'uu-dzu billaahis samii'il 'aliimi minasy syai-thaanir rajiimi min hamzihi wa naf-khihi wa naf-tsihi
'Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari syaitan yang terkutuk, dari godaan, tiupan dan hembusannya.'"
Hadits ini juga diriwayatkan oleh para penulis kitab Sunan yang empat. At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits paling masyhur dalam masalah ini. (18)
Kata al-hamz juga ditafsirkan dengan cekikan (yang menyebabkan kematian), an-nafkh adalah kesombongan dan an-nafts adalah sya'ir. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Jubair bin Muth'im dari ayahnya, ia berkata: "Aku melihat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ketika mulai mengerjakan shalat, beliau mengucapkan:
اَللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا -ثَلَاثًا-, اَلْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا -ثَلَاثًا-, سُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلًا -ثَلَاثًا-, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
'Allaahu Akbaru kabiiraa (Allah Mahabesar)' sebanyak tiga kali, 'al-Hamdulillaahi ka-tsiiraa (segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak)' sebanyak tiga kali, 'Sub-haanallaahi bukratan wa a-shiilaa (Mahasuci Allah di waktu pagi dan petang) sebanyak tiga kali. (Lalu beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengucapkan:) 'Allaahumma innii a'uu-dzu bika minasy syai-thaanir rajiim min hamzihi wa naf-khihi wa naf-tsihi (Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari gangguan syaitan yang terkutuk, dari godaan, tiupan dan hembusannya).'"
'Amr berkata: "Makna al-hamz adalah cekikan (yang menyebabkan kematian), an-nafkh adalah kesombongan dan an-nafts adalah sya'ir." (19)
Ibnu Majah meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami 'Ali bin al-Mundzir, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudhail, telah menceritakan kepada kami 'Atha' bin as-Sa-ib dari Abu 'Abdirrahman as-Sulami dari Ibnu Mas'ud radhiyallaahu 'anhu dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
Allaahumma innii a'uu-dzu bika minasy syai-thaanir rajiimi min hamzihi wa naf-khihi wa naf-tsihi
"Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari (gangguan) syaitan yang terkutuk, serta godaan, tiupan dan hembusannya."
Ibnu Majah berkata, "Al-hamz adalah cekikan (yang menyebabkan kematian), an-nafkh adalah kesombongan dan an-nafts adalah sya'ir." (20)
Membaca ta'awwudz ketika marah
Al-Hafizh Abu Ya'la Ahmad bin 'Ali bin al-Mutsanna al-Mushili meriwayatkan dalam kitab Musnadnya dari Ubay bin Ka'ab radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Dua orang laki-laki bertengkar di hadapan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, hidung salah seorang dari keduanya mengembang dan mengempis karena marah. Maka beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: 'Sesungguhnya aku mengetahui suatu kalimat yang jika ia mengucapkannya, niscaya akan hilang semua yang ia rasakan. Yaitu ucapan:
أَعُوْذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
A'uu-dzu billaahi minasy syai-thaanir rajiim
(Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk).'"
Demikian yang diriwayatkan oleh an-Nasa-i dalam 'Amalul Yaum wal Lailah. (21)
Al-Bukhari meriwayatkan dari Sulaiman bin Shurad radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Ada dua orang laki-laki saling mencela di hadapan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, sedang kami duduk di hadapan beliau. Salah seorang dari keduanya mencela yang lainnya dalam keadaan marah dan wajah yang memerah. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
'Sesungguhnya aku mengetahui suatu kalimat yang jika ia mengucapkannya niscaya akan hilang kemarahannya. Yaitu ucapan: A'uu-dzu billaahi minasy syai-thaanir rajiim (aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk).'"
Maka para Shahabat radhiyallaahu 'anhum berkata kepada orang itu: "Tidakkah engkau mendengar apa yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam?" Orang itu menjawab: "Sesungguhnya aku bukanlah orang yang kurang akal."
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud dan an-Nasa-i. (22)
Dan masih banyak hadits-hadits yang menyebutkan tentang isti'adzah ini yang terlalu panjang pembahasannya jika disebutkan di sini. Dan penyebutannya mungkin dalam kitab tentang dzikir atau fadha-ilul 'amal, wallaahu a'lam.
Apakah isti'adzah itu wajib atau sunnah?
(Masalah:) Jumhur ulama berpendapat bahwa isti'adzah itu hukumnya sunnah dan bukan suatu kewajiban yang jika seseorang meninggalkannya, maka ia berdosa. Ar-Razi menceritakan dari 'Atha' bin Abi Rabah tentang wajibnya isti'adzah di dalam shalat dan di luar shalat ketika hendak membaca al-Qur-an. Ar-Razi berhujjah dengan riwayat 'Atha', yaitu dengan zhahir ayat: "Maka hendaklah kamu meminta perlindungan." Ini adalah perintah yang zhahirnya wajib. Juga karena Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam rutin melakukannya. Dan isti'adzah dapat menolak keburukan syaitan. Sedangkan suatu perkara yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya, maka perkara itu pun wajib. Di samping itu isti'adzah merupakan tindakan kehati-hatian. Maka, jika seseorang yang berlindung mengucapkan: "A'uu-dzu billaahi minasy syai-thaanir rajiim," maka itu sudah cukup.
Di antara manfaat isti'aadzah
Di antara manfaatnya adalah untuk menyucikan dan mengharumkan mulut dari kata-kata yang buruk dan tidak berfaedah. Isti'aadzah ini digunakan untuk membaca firman-firman Allah. Artinya, memohon pertolongan kepada Allah sekaligus menyatakan pengakuan atas kekuasaan-Nya, kelemahan dirinya sebagai seorang hamba dan ia tidak berdaya melawan musuh yang sejati (syaitan), yang bersifat bathin (tidak terlihat) dan tidak seorang pun mampu menolak dan mengusirnya kecuali Allah yang telah menciptakannya. Karena dia tidak menerima pemberian dan tidak dapat dipengaruhi dengan kebaikan. Berbeda dengan musuh dari jenis manusia. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat al-Qur-an tentang tsalaatsin minal matsaani (tiga perkara yang diulang-ulang) dan firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala: "Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Rabbmu sebagai Penjaga." (QS. Al-Israa': 65)
Dan para Malaikat telah turun untuk memerangi musuh dari kalangan manusia. Barangsiapa dibunuh oleh musuh yang bersifat lahiriyah dari kalangan manusia, maka ia mati syahid. Namun, barangsiapa dibunuh oleh musuh yang bersifat bathin (syaitan) maka ia terusir. Barangsiapa dikalahkan oleh musuh manusia biasa, maka ia akan mendapatkan pahala. Tetapi, barangsiapa dikalahkan oleh musuh yang bersifat bathin (syaitan), maka ia tertipu dan menanggung dosa. Oleh karena syaitan dapat melihat manusia sedangkan manusia tidak dapat melihatnya, maka manusia harus memohon perlindungan kepada Rabb yang melihat syaitan dan syaitan tidak melihat-Nya.
(Pasal) isti'aadzah berarti permohonan perlindungan kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala dari kejahatan setiap yang jahat. Al-'iyaadzah adalah permohonan pertolongan dalam usaha menolak kejahatan, dan al-liyaadz adalah permohonan pertolongan dalam upaya meraih kebaikan.
Makna isti'aadzah
Maka a'uu-dzu billaahi minasy syai-thaanir rajiim adalah aku memohon perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk agar ia tidak membahayakan diriku dalam urusan agama dan duniaku, atau menghalangiku untuk mengerjakan apa yang Dia perintahkan atau menyuruhku mengerjakan apa yang Dia larang. Karena tidak ada yang mampu mencegah godaan syaitan itu dari manusia kecuali Allah.
Oleh karena itu, Allah Subhaanahu wa Ta'aala memerintahkan kepada manusia agar membujuk syaitan dari jenis manusia dan berbuat baik kepadanya, sehingga dapat merubah tabi'at dan kebiasaannya mengganggu orang lain. Tetapi, Allah memerintahkan agar kita memohon perlindungan kepada-Nya dari syaitan jenis jin. Karena dia tidak menerima pemberian dan tidak dapat dipengaruhi dengan kebaikan. Tabi'at mereka jahat dan tidak ada yang dapat mencegahnya dari dirimu kecuali Rabb yang telah menciptakannya.
Inilah makna yang terkandung dalam tiga ayat al-Qur-an, dimana aku tidak mengetahui ada ayat keempat yang semakna dengannya. Pertama, firman-Nya dalam surat al-A'raaf:
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang lain mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh." (QS. Al-A'raaf: 199)
Makna di atas berkenaan dengan mu'amalah dengan musuh dari kalangan manusia.
Dilanjutkan dengan firman-Nya:
"Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Al-A'raaf: 200)
Sedangkan dalam surat al-Mu'-minuun Allah berfirman:
"Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah, "Ya Rabbku, aku berlindung kepada-Mua dari bisikan-bisikan syaitan. Dan aku berlindung (pula) kepada-Mu ya Rabbku, dari kedatangan mereka kepadaku." (QS. Al-Mu'-minuun: 96-98)
Dan dalam surat Fushshilat Allah berfirman:
"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang di antara kami dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar. Dan jika syaitan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. Fushshilat: 34-36)
Penamaan syaitan
Dalam bahasa Arab, kata syaitan berasal dari kata sya-thana (شَطَنَ) yang berarti jauh. Jadi tabi'at syaitan itu sangat jauh dengan tabi'at manusia. Dan karena kefasikannya itu ia sangat jauh dari kebaikan.
Ada juga yang mengatakan bahwa kata syaitan itu berasal dari kata syaa-tha (شَاطَ)= terbakar, karena ia diciptakan dari api. Dan ada juga yang mengatakan bahwa kedua makna tersebut benar, tetapi makna yang pertama lebih tepat.
Menurut Sibawaih, bangsa Arab mengatakan: "tasyai-thana fulaanun (تَشَيْطَنَ فُلَانٌ)", berarti si Fulan itu berbuat seperti perbuatan syaitan. Jika kata syaitan itu berasal dari kata syaa-tha tentunya mereka akan mengatakan: tasyai-tha. Maka menurut pendapat yang benar, kata syaitan itu berasal dari kata sya-thana yang berarti jauh. Oleh karena itu mereka menyebut syaitan untuk setiap pendurhaka baik dari kalangan jin, manusia maupun hewan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
"Dan demikianlah Kami jadikan tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)." (QS. Al-An'aam: 112)
Dalam Musnad al-Imam Ahmad, disebutkan sebuah hadits dari Abu Dzarr radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
'Wahai Abu Dzarr, mohonlah perlindungan kepada Allah dari keburukan syaitan-syaitan dari jenis manusia dan jin.' Lalu aku bertanya: 'Apakah ada syaitan dari jenis manusia?' Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: 'Ya, ada.'" (23)
Dan dalam Shahiih Muslim diriwayatkan sebuah hadits yang juga dari Abu Dzarr, ia berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
'Sesuatu yang dapat membatalkan shalat adalah wanita, keledai, dan anjing hitam.' Kemudian aku bertanya: 'Wahai Rasulullah, mengapa anjing hitam, dan bukan anjing merah atau kuning?' Beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: 'Anjing hitam itu adalah syaitan.'" (24)
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwasanya 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu mengendarai kuda tarik, namun kuda itu berjalan pelan maka 'Umar pun memukulnya (supaya jalannya cepat). Namun kuda itu justru berjalan semakin pelan. 'Umar pun turun dan berkata: "Tidaklah kalian membawakan kepadaku kecuali syaitan. Aku turun darinya karena perasaanku merasa tak enak." Sanad-sanadnya shahih. (25)
Makna ar-Rajiim
Ar-rajiim berwazan "فَعِيْلٌ" (subyek) bermakna "مَفْعُوْلٌ" (obyek). Maknanya bahwa syaitan itu terkutuk dan terjauh dari segala kebaikan. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan." (QS. Al-Mulk: 5)
Allah Subhaanahu wa Ta'aala juga berfirman:
"Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang, dan telah memeliharanya (sebenar-benarnya) dari setiap syaitan yang sangat durhaka, syaitan-syaitan itu tidak dapat mendengar-dengarkan (pembicaraan) para Malaikat dan mereka dilempari dari segala penjuru. Untuk mengusir mereka dan bagi mereka siksaan yang kekal, akan tetapi barangsiapa (di antara mereka) yang mencuri-curi (pembicaraan), maka ia dikejar oleh suluh api yang cemerlang." (QS. Ash-Shaaffaat: 6-10)
Dan Allah Ta'ala berfirman:
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan gugusan bintang-bintang (di langit) dan Kami telah menghiasi langit itu bagi orang-orang yang memandang(nya), dan Kami menjaganya dari tiap-tiap syaitan yang terkutuk. Kecuali syaitan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari Malaikat) lalu dia dikejar semburan api yang terang." (QS. Al-Hijr: 16-18)
Dan ayat-ayat lainnya.
Ada juga yang berpendapat bahwa "رَجِيْمٌ" bermakna "رَاجِمٌ".
Karena ia mengganggu manusia dengan waswas dan bisikan. Hanya saja makna yang pertama lebih masyhur dan lebih tepat.
===
(*) Shahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 1457, at-Tirmidzi, tanpa kalimat wal Qur-aanul 'Azhiim, Ahmad no. 9781, 9789.
(1) Tuhfatul Ahwadzi 8/283. Lihat hadits lengkapnya diriwayatkan oleh Muslim no. 395, Abu Dawud no. 821, at-Tirmidzi no. 2953, an-Nasa-i no. 909, Ibnu Majah no. 3784, Ahmad no. 7289, 7823, dan lihat pula Shahiih at-Targhiib no. 1455.
(2) Fat-hul Baari 4/529. Hadits lengkapnya diriwayatkan oleh al-Bukhari no. 2276, at-Tirmidzi no. 2064. Lihat pula yang semisalnya yang diriwayatkan oleh Muslim no. 2201, Abu Dawud no. 3418, dan lihat kitab Irwaa-ul Ghaliil 6/12.
(3) Fat-hul Baari 8/6.
(4) Tafsiir ath-Thabari 1/107.
(5) HR. Ahmad 2/448. Komentar Syaikh Syu'aib al-Arnauth hafizhahullaah: "Sanadnya shahih, berdasarkan syarat periwayatan al-Bukhari dan Muslim." (Al-Musnad 15/489 no. 9788, cet. Ar-Risalah)
(6) Tafsiir ath-Thabari 1/107.
(7) Ahmad 4/211.
(8) Fat-hul Baari 8/6, 671. Al-Bukhari no. 4474, 4647, 4703, 5006.
(9) Abu Dawud 2/150, an-Nasa-i 2/139, dan Ibnu Majah 2/1244. Shahih: Abu Dawud no. 1458, an-Nasa-i no. 913, Ibnu Majah no. 3785. Dan lihat pula Shahiih at-Targhiib no. 1452.
(10) Fat-hul Baari 8/671. Al-Bukhari no. 5007, Muslim no. 2201.
(11) Muslim 1/296, dan an-Nasa-i dalam al-Kubra 5/12. Muslim no. 806(254), an-Nasa-i no. 912.
(12) Muslim 1/296 dan an-Nasa-i dalam al-Kubra 5/11, 12. Muslim no. 395, an-Nasa-i no. 909. Dan riwayat senada oleh Abu Dawud no. 821, at-Tirmidzi no. 2953, Ibnu Majah no. 3784, Ahmad no. 7289, 7823, dan lihat Shahiih at-Targhiib no. 1455.
(13) Fat-hul Baari 8/257. Al-Bukhari no. 4722.
(14) Fat-hul Baari 8/251 dan Muslim 1/439. Al-Bukhari no. 648, Muslim no. 649.
(15) Ahmad 2/250. Syaikh al-Arnauth hafizhahullaah berkata: "Sanadnya shahih berdasarkan syarat periwayatan Muslim." Dalam al-Musnad 13/232 no. 7836, cet. Ar-Risalah.
(16) Fat-hul Baari 2/276 dan Muslim 1/295. Al-Bukhari no. 756, Muslim no. 394.
(17) Ibnu Khuzaimah 1/248 dan Ibnu Hibban 3/139.
(18) Ahmad 3/69, Abu Dawud 1/490, dan Tuhfatul Ahwadzi 2/47, an-Nasa-i 2/132 dan Ibnu Majah 1/264. Shahih: Abu Dawud no. 775, at-Tirmidzi no. 242, an-Nasa-i no. 900, Ibnu Majah no. 804. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam kitabnya Shahiih Sunan Abi Dawud no. 701.
(19) Abu Dawud 1/486 dan Ibnu Majah 1/265. Dha'if: Abu Dawud no. 764, Ibnu Majah no. 806. Lihat al-Irwaa' 2/54.
(20) Ibnu Majah 1/264. Shahih: Ibnu Majah no. 808. Lihat kitab al-Irwaa' 2/55.
(21) An-Nasa-i dalam al-Kubra no. 10233.
(22) Fat-hul Baari 6/388, Muslim 4/2015, Abu Dawud 5/140, an-Nasa-i dalam al-Kubra 6/104.
(23) Ahmad 5/178. Dha'if: Ahmad meriwayatkannya dengan dari dua jalan. Salah satunya dari jalan al-Mas'udi. Al-Haitsami mengatakan: "Dia adalah seorang yang tsiqah (terpercaya), akan tetapi hafalannya bercampur (kacau). Kedua adalah dari jalan 'Ali bin Yazid dan dia dha'if. Sebagaimana disebutkan dalam Majma'uz Zawaa-id 1/214-215.
(24) Muslim 1/365. Lihat Shahiih Muslim no. 510 dan Sunan Abi Dawud no. 702.
(25) Tafsiir ath-Thabari 1/111.
===
Maraji'/ sumber: http://baitulkahfitangerang.blogspot.co.id/search/label/shahih%20tafsir%20ibnu%20katsir%20jilid%201
===
Baca juga:
Tafsir Surat al-Faatihah Ayat 1
Inilah tafsir al-Faatihah secara umum oleh Ibnu Katsir rahimahullaah, selanjutnya akan ditafsir secara khusus setiap ayat. Kami tulis ulang dari kitab Shahih Tafsir Ibnu Katsir dalam blog Tafsir al-Fatihah Ibnu Katsir.