Segala puji bagi Allah yang telah membuka Kitab-Nya dengan al-Hamdu (pujian). Dia berfirman:
"Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Yang menguasai hari Pembalasan." (Qur-an Surat al-Faatihah: ayat 1-4)
Dan membuka penciptaan-Nya dengan al-Hamdu (pujian), Allah Ta'ala berfirman:
"Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka." (Qur-an Surat al-An'aam: ayat 1)
Dan menutupnya dengan al-Hamdu (pujian), Allah Ta'ala berfirman setelah menyebutkan tempat kembali bagi ahli Jannah dan ahli Neraka:
"Dan kamu (Muhammad) akan melihat Malaikat-malaikat berlingkar di sekeliling 'Arsy bertasbih sambil memuji Rabbnya, dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan, 'Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam'." (Qur-an Surat az-Zumar: ayat 75)
Oleh karena itu Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
"Dan Dialah Allah, tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nya segala penentuan dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan." (Qur-an Surat al-Qashash: ayat 70)
Maka segala puji adalah bagi Allah di dunia maupun di akhirat, yakni pada seluruh makhluk yang Dia ciptakan, maka Dia terpuji atas semua itu, sebagaimana yang diucapkan oleh seorang yang shalat:
"Ya Allah, Rabb kami. Bagi-Mu segala puji, sepenuh langit dan bumi, serta sepenuh apa yang Engkau kehendaki setelah itu." (1)
Segala puji bagi Allah yang telah mengutus para Rasul-Nya:
"...sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya Rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (Qur-an Surat an-Nisaa': ayat 165)
Dan menutup mereka dengan Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam yang ummi al-Arabi al-Makki pemberi petunjuk untuk menjelaskan jalan yang benar, diutus kepada seluruh makhluk-Nya dari kalangan jin dan manusia sampai hari Kiamat. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:
"Katakanlah: 'Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi, tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (Kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia supaya kamu mendapat petunjuk." (Qur-an Surat al-A'raaf: ayat 58)
Dan Allah Ta'ala juga berfirman:
"...supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur-an (kepadanya)..." (Qur-an Surat al-An'aam: ayat 19)
Maka barangsiapa yang sampai kepadanya al-Qur-an, baik orang Arab ataupun orang 'Ajam (non Arab), baik yang berkulit hitam ataupun putih, baik jin ataupun manusia, maka al-Qur-an merupakan peringatan baginya. Oleh karena itu Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
"...dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada al-Qur-an, maka Nerakalah tempat yang diancamkan baginya..." (Qur-an Surat Huud: ayat 17)
Maka barangsiapa yang kafir kepada al-Qur-an dari mereka yang telah kami sebutkan, Allah mengancam mereka dengan Neraka, sebagaimana firman-Nya:
"Maka serahkanlah (wahai Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (al-Qur-an). Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur (ke arah kebinasaan) dari arah yang tidak mereka ketahui." (Qur-an Surat al-Qalam: ayat 44)
Dan Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Aku diutus kepada kaum yang berkulit merah ataupun hitam."
Mujahid mengatakan: "Yakni kalangan manusia dan jin." (2)
Dan beliau -semoga shalawat dan salam tercurah kepadanya- adalah utusan Allah kepada seluruh jin dan manusia untuk menyampaikan kepada mereka apa yang diwahyukan oleh Allah kepada beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam berupa Kitab yang mulia ini yang tidak datang kepadanya kebathilan, baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari (Rabb) Yang Mahabijaksana lagi Mahaterpuji.
Tafsir Ibnu Katsir Indonesia, Perintah untuk memahami al-Qur-an.
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam telah mengabarkan kepada mereka dari Allah Subhaanahu wa Ta'aala bahwa Dia telah memerintahkan kepada manusia untuk memahami al-Qur-an.
Allah Ta'ala berfirman:
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur-an? Kalau sekiranya al-Qur-an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak di dalamnya." (Qur-an Surat an-Nisaa': ayat 82)
Allah juga berfirman:
"Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapat pelajaran." (Qur-an Surat Shaad: ayat 29)
Dan Allah berfirman:
"Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur-an ataukah hati mereka terkunci." (Qur-an Surat Muhammad: ayat 24)
(Maka wajib) atas para ulama untuk menjelaskan makna-makna firman di atas dan tafsirnya, mencarinya pada sumber-sumbernya, mempelajari serta mengajarkannya, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:
"Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi al-Kitab (yaitu), 'Hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya,' lalu merek melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima." (Qur-an Surat Ali 'Imran: ayat 187)
Dia juga berfirman:
"Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan tidak kn melihat mereka pada hari Kiamat dan tidak (pula) akan mensucikan mereka. Dan bagi mereka adzab yang pedih." (Qur-an Surat Ali 'Imran: ayat 77)
Allah Ta'ala telah mencela Ahlul Kitab (yahudi dan nashrani) sebelum kita karena mereka berpaling dari Kitab yang diturunkan kepada mereka. Mereka condong kepada dunia dan mengumpulkannya, serta menyibukkan diri dengan perkara-perkara yang tidak diperintahkan, padahal mereka diperintahkan untuk mengikuti Kitabullah.
Maka wajib atas kita kaum muslimin untuk menjauhi perbuatan mereka yang dicela oleh Allah, dengan melaksanakan apa yang diperintahkan kepada kita, yaitu mempelajari dan mengajarkan Kitabullah yang diturunkan kepada kita. Allah Ta'ala berfirman:
"Belum tibakah saatnya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)? Dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka, lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik. Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi setelah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya." (Qur-an Surat al-Hadiid: ayat 16-17)
Dalam ayat ini Allah Ta'ala memberikan peringatan bahwa sebagaimana Dia menghidupkan bumi setelah matinya, maka demikian pula Allah melembutkan hati dengan iman dan petunjuk yang sebelumnya keras karena dosa dan maksiat. Hanya Allah sajalah yang kita harapkan dan kita pinta agar mewujudkan semua itu untuk kita. Sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Mahamulia.
Ushuulut Tafsiir
Jika ada yang bertanya, "Apakah metode tafsir yang paling bagus?"
Maka jawabnya: Metode yang paling shahih dalam hal ini adalah menafsirkan ayat al-Qur-an dengan ayat al-Qur-an. Perkara-perkara yang disebutkan secara global di satu ayat dapat ditemukan rinciannya di ayat lain. Jika tidak menemukannya, maka hendaklah mencarinya di dalam Sunnah (Hadits), karena Sunnah adalah penjelas bagi al-Qur-an.
Allah Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili di antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat." (Qur-an Surat an-Nisaa': ayat 105)
Allah juga berfirman:
"Dan tidaklah Kami menurunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur-an) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman." (Qur-an Surat an-Nahl: ayat 64)
Dia juga berfirman:
"...dan Kami turunkan kepadamu al-Qur-an, agar kamu menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan." (Qur-an Surat an-Nahl: ayat 44)
Oleh karena itu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Ketahuilah bahwasanya telah diturunkan kepadaku al-Qur-an dan yang semisalnya bersamanya." (3)
Yakni as-Sunnah (al-Hadits).
As-Sunnah juga diwahyukan sebagaimana al-Qur-an, hanya saja as-Sunnah tidak dibaca sebagaimana al-Qur-an.
Maksudnya, hendaklah engkau mencari tafsir ayat al-Qur-an pada ayat yang lain. Jika tidak mendapatinya, maka hendaklah menafsirkannya dengan as-Sunnah. Apabila kita tidak mendapati tafsirnya di dalam al-Qur-an ataupun as-Sunnah, maka kita merujuk kepada ucapan para Shahabat radhiyallaahu 'anhum, karena mereka lebih mengetahui tentang hal itu. Mereka menyaksikan langsung indikasi-indikasi dan keadaan-keadaannya yang khusus. Mereka memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang shahih, dan amal yang shalih, terlebih lagi para ulama mereka, tokoh-tokoh mereka seperti empat orang Khulafa-ur Rasyidin dan para imam yang mendapat petunjuk, di antaranya adalah 'Abdullah bin Mas'ud radhiyallaahu 'anhu.
Imam Abu Ja'far bin Jarir meriwayatkan dari 'Abdullah, yakni 'Abdullah bin Mas'ud, ia berkata: "Demi Allah yang tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Dia, tidaklah turun satu ayat pun dari Kitabullah, melainkan aku mengetahui berkaitan dengan siapa ayat itu diturunkan dan dimana ayat itu diturunkan. Sekiranya ada seseorang yang lebih mengetahui tentang Kitabullah dariku yang berada di tempat yang bisa dijangkau kendaraan, niscaya aku akan mendatanginya." (4)
Di antara mereka adalah al-Habrul Bahr (samudera ilmu), 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallaahu 'anhu, anak paman Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan turjumanul Qur-an (juru bahasa al-Qur-an) dengan berkah do'a Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, dimana beliau berdo'a:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Allaahumma faqqih-hu fid diini wa 'allim-hut ta'-wiila
"Ya Allah, berilah ia pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya ta'-wil (tafsir)." (5)
Ibnu Jarir meriwayatkan dari 'Abdullah, yakni 'Abdullah bin Mas'ud, ia berkata: "Sebaik-baik turjumanul Qur-an adalah Ibnu 'Abbas." (6) Sanad ini shahih.
Ibnu Mas'ud wafat pada tahun 32 (H) menurut riwayat yang shahih. Dan 'Abdullah bin 'Abbas dipanjangkan umurnya hingga 36 tahun setelahnya. Lalu bagaimana pula dengan ilmu yang diperolehnya setelah kepergian 'Abdullah bin Mas'ud?!
Al-A'masy meriwayatkan dari Abu Wa-il, ia berkata: "Ali menunjuk Ibnu 'Abbas sebagai amir haji. Maka beliau berkhutbah di hadapan orang-orang lalu membaca surat al-Baqarah -dalam riwayat lain, surat an-Nuur- lalu menafsirkannya dengan penafsiran yang sekiranya penduduk Romawi, Turki dan Dailam mendengarnya, niscaya mereka akan masuk Islam." (7)
Oleh karena itu Isma'il bin 'Abdirrahman as-Suddi al-Kabir dalam tafsirnya banyak meriwayatkan dari dua Shahabat ini, yaitu Ibnu Mas'ud dan Ibnu 'Abbas. Akan tetapi kadangkala ia menukil dari mereka ucapan-ucapan Ahli Kitab yang memang diperbolehkan oleh Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
"Sampaikanlah dariku meski hanya satu ayat, dan sampaikan riwayat dari Bani Israil, hal itu tidak berdosa. Dan barangsiapa sengaja berdusta atas namaku maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di Neraka."
Hadits riwayat al-Bukhari dari 'Abdullah bin 'Amr. (8)
Oleh karena itulah, 'Abdullah bin 'Amr radhiyallaahu 'anhu, pada perang Yarmuk mendapat dua kotak berisi buku-buku Ahli Kitab. Lalu ia menyampaikan dari keduanya karena memahami dari hadits ini bahwa hal itu diperbolehkan.
Hukum riwayat Israiliyyat
Akan tetapi hadits-hadits Israiliyyat hanya disebutkan sebagai penguat, bukan sebagai sandaran. Riwayat Israiliyyat terbagi menjadi tiga macam. Pertama, riwayat yang kita ketahui keshahihannya yang sesuai dengan apa yang tertera dalam Kitab suci kita yang bisa dibuktikan kebenarannya. Maka riwayat ini shahih. Kedua, riwayat yang kita ketahui kebohongannya dan bertentangan dengan syari'at yang ada pada kita. Ketiga, riwayat yang belum bisa dikomentari, tidak termasuk jenis pertama dan tidak juga jenis kedua. Maka riwayat ini tidak kita terima dan tidak juga kita tolak. Dan boleh meriwayatkannya berdasarkan hadits di atas. Kebanyakan riwayat Israiliyyat jenis ini tidak berisi faedah apapun dalam urusan agama kita. Sebagaimana mereka menyebutkan nama-nama Ash-habul Kahfi, warna anjing mereka dan jumlah mereka. Juga tentang tongkat Musa, dari kayu apa ia dibuat. Tentang nama-nama burung yang Allah hidupkan bagi Ibrahim dan penetapan bagian tubuh sapi mana yang dipukulkan kepada orang yang mati dalam kisah sapi betina. Dan juga jenis pohon yang Allah berbicara kepada Musa darinya. Serta beberapa perkara yang tidak dijelaskan secara rinci di dalam al-Qur-an, yang tidak mengandung faedah menyebutkannya secara terperinci bagi para mukallaf dalam urusan dunia maupun agama mereka.
Kedudukan tafsir para Tabi'in
(Pasal) Apabila engkau tidak mendapati tafsir dalam al-Qur-an, as-Sunnah ataupun perkataan Shahabat, maka kebanyakan dari para imam merujuk kepada ucapan-ucapan para Tabi'in, seperti Mujahid bin Jabr, karena ia termasuk salah satu tokoh besar dalam ilmu tafsir, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Ishaq: "Telah menceritakan kepada kami Aban bin Shalih dari Mujahid, ia berkata: 'Aku membaca mush-haf di hadapan Ibnu 'Abbas sebanyak tiga kali, dari awal hingga akhir. Aku membahas setiap ayat dan menanyakan kepada beliau tentang tafsirnya'." (9)
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abu Mulaikah, ia berkata: "Aku melihat Mujahid bertanya kepada Ibnu 'Abbas tentang tafsir al-Qur-an, sementara ia membawa buku catatannya."
Maka Ibnu 'Abbas berkata kepadanya: "Tulislah!" hingga Mujahid menanyakan tentang tafsir seluruhnya." (10)
Oleh karena itu, Sufyan ats-Tsauri berkata: "Apabila sampai kepadamu tafsir dari Mujahid maka itu sudah mencukupi." (11)
Demikian juga Sa'id bin Jubair, 'Ikrimah maula (mantan budak) Ibnu 'Abbas, 'Atha' bin Abi Rabah, al-Hasan al-Bashri, Masyruq bin al-Ajda', Sa'id Ibnul Musayyab, Abul 'Aliyah, ar-Rabi' bin Anas, Qatadah, adh-Dhahhak, Ibnu Muzahim dan ulama-ulama lainnya dari kalangan Tabi'in, Tabi'ut Tabi'in dan setelahnya. Disebutkan perkataan-perkataan mereka tentang tafsir ayat al-Qur-an. Lalu terkesan dari perkataan mereka ini perbedaan-perbedaan lafazh yang disangka oleh orang yang tidak memiliki ilmu sebagai perpecahan. Lalu mereka meriwayatkan beberapa pendapat yang berbeda, padahal tidak demikian, sebab di antara mereka ada yang mengungkapkan sesuatu secara kontekstual atau dengan analogi, dan di antara mereka ada yang mengungkapkannya secara tekstual, sementara maknanya sama saja pada banyak pembahasan. Hendaklah para pelajar memahami hal ini. Wallaahul Haadi.
Tafsir dengan ra'-yu (akal)
Adapun menafsirkan al-Qur-an dengan ra'-yu semata hukumnya haram, berdasarkan apa yang diriwayatkan oleh Muhammad Ibnu Jarir rahimahullaah, dari Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhu, dari Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
"Barangsiapa berbicara tentang al-Qur-an dengan akalnya atau dengan apa yang tidak dia ketahui ilmunya, maka hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di Neraka."
Demikian yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Abu Dawud. At-Tirmidzi mengatakan, "Ini adalah hadits hasan." (12)
Diam (tidak berbicara) tentang ayat yang tafsirnya tidak diketahui.
Oleh karena itu sejumlah ulama Salaf menahan diri dari berbicara tentang masalah tafsir ayat yang mereka tidak memiliki ilmu tentangnya. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Abu Ma'mar, ia berkata: "Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallaahu 'anhuma berkata:
"Bumi mana tempatku berpijak dan langit mana tempatku bernaung jika aku berbicara tentang Kitabullah apa yang tidak aku ketahui ilmunya." (13)
Demikian juga dari Anas bahwasanya 'Umar bin al-Khaththab radhiyallaahu 'anhu di atas mimbar membaca:
"Dan buah-buahan serta rumput-rumputan." (Qur-an Surat 'Abasa: ayat 31)
Maka ia berkata: "Adapun buah-buahan kita telah mengenalnya, lalu apa yang dimaksud dengan rumput-rumputan?" Lalu ia berkata kepada dirinya sendiri: "Ini adalah takalluf (memberatkan diri) wahai 'Umar." (14)
Hal ini dibawakan kepada makna bahwa ia radhiyallaahu 'anhu berkeinginan mengungkap ilmu tentang kaifiyat al-Abba. Sebab, pada asalnya makna al-Abba sudah jelas dan diketahui yaitu sejenis tanaman yang merambat di tanah. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah:
"Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu, anggur dan sayur-sayuran." (Qur-an Surat 'Abasa: ayat 27-28)
Ibnu Jarir rahimahullaah meriwayatkan dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma pernah ditanya tentang sebuah ayat yang seandainya ditanyakan kepada orang selainnya niscaya orang itu akan menjawabnya namun Ibnu 'Abbas diam, tidak berbicara tentangnya. Sanadnya shahih. (15)
Diriwayatkan juga dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata: "Seorang laki-laki bertanya kepada Ibnu 'Abbas tentang ayat:
'...satu hari yang kadar (lama)nya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu.' (Qur-an Surat as-Sajdah: ayat 5)
Maka Ibnu 'Abbas berkata kepadanya: 'Apa yang dimaksud dengan satu hari yang kadar (lama)nya adalah seribu tahun menurut perhitunganmu?' Maka laki-laki itu berkata: 'Aku bertanya kepadamu agar engkau menjelaskannya kepadaku.' Ibnu 'Abbas menjawab: 'Itu adalah dua hari yang disebutkan oleh Allah dalam Kitab-Nya dan Allah lebih mengetahui tentang keduanya.' Ibnu 'Abbas tidak suka berbicara tentang Kitabullah apa yang ia tidak mengetahui tentangnya." (16)
Al-Laits meriwayatkan dari Yahya bin Sa'id dari Sa'id bin al-Musayyab, ia mengatakan bahwa dirinya tidak pernah berbicara tentang al-Qur-an, kecuali yang memang ia mengetahui ilmunya. (17)
Ayyub, Ibnu 'Aun, dan Hisyam ad-Dustuwa-i meriwayatkan dari Muhammad bin Sirin, ia berkata: "Aku bertanya kepada Abu 'Ubaidah yakni as-Salmani, tentang sebuah ayat al-Qur-an, maka ia berkata: 'Orang-orang yang mengetahui apa al-Qur-an diturunkan telah tiada. Maka bertakwalah kepada Allah dan hendaknya engkau senantiasa menetapi kebenaran.'" (18)
Dan asy-Sya'bi meriwayatkan dari Masruq, ia berkata: "Berhati-hatilah berbicara tentang tafsir, karena itu adalah riwayat dari Allah." (19)
Atsar-atsar yang shahih dan yang semisalnya dari para Shahabat dan imam-imam Salaf menunjukkan keengganan mereka berbicara tentang tafsir al-Qur-an yang mereka tidak memiliki ilmu tentangnya. Adapun barangsiapa yang berbicara tentang apa yang ia mengetahui ilmunya, baik secara bahasa maupun syar'i, maka tidak ada halangan baginya. Oleh karena itulah, diriwayatkan dari mereka dan juga selainnya tentang tafsir al-Qur-an. Hal ini tidaklah bertentangan, karena mereka berbicara tentang apa yang mereka memiliki ilmu tentangnya dan diam terhadap perkara yang mereka tidak memiliki ilmu tentangnya. Dan ini wajib bagi setiap orang. Sebagaimana ia wajib diam dalam perkara yang ia tidak mengetahui ilmunya. Demikian pula ia wajib menyampaikan perkara yang ditanyakan kepadanya, sedang ia memiliki ilmu tentangnya. Hal ini berdasarkan firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:
"...hendaklah kamu menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya..." (Qur-an Surat Ali 'Imran: ayat 187)
Dan juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari beberapa jalan:
"Barangsiapa yang ditanya tentang suatu ilmu lalu ia menyembunyikannya, niscaya pada hari Kiamat ia akan dibelenggu dengan belenggu dari api Neraka." (20)
Bentuk-bentuk tafsir
Ibnu Jarir rahimahullaah berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad bin Basyar, telah meriwayatkan kepada kami Mu-ammal, telah meriwayatkan kepada kami Sufyan dari Abuz Zinad, ia berkata: "Telah berkata kepada kami Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma: 'Tafsir terbagi menjadi empat bentuk, yaitu tafsir yang dapat dimengerti oleh orang Arab bahasanya, tafsir yang tidak ada udzur bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya, tafsir yang hanya diketahui oleh para ulama dan tafsir yang tidak diketahui kecuali oleh Allah." (21)
Surat-surat Makkiyyah dan Madaniyyah
Hamman meriwayatkan dari Qatadah, ia berkata: "Surat al-Qur-an yang turun di Madinah adalah surat al-Baqarah, Ali 'Imran, an-Nisaa', al-Maa-idah, Baraa-ah (at-Taubah), ar-Ra'du, an-Nahl, al-Hajj, an-Nuur, al-Ahzaab, Muhammad, al-Fat-h, al-Hujuuraat, ar-Rahmaan, al-Hadiid, al-Mujaadilah, al-Hasyr, al-Mumtahanah, ash-Shaff, al-Jumu'ah, al-Munaafiquun, at-Taghaabun, ath-Thalaaq, at-Tahriim hingga ayat kesepuluh, az-Zalzalah, dan an-Nashr. Surat-surat ini turun di Madinah, sedangkan surat-surat lain semua diturunkan di Makkah. (22)
Jumlah ayat al-Qur-anul Karim
Jumlah ayat al-Qur-anul 'Azhim adalah 6000 ayat. Selebihnya para ulama berbeda pendapat. Ada yang tidak menambahkan lebih dari 6000 ayat. Ada yang menambahkannya 204 ayat. Ada yang menambahkannya 14 ayat. Ada yang menambahkannya 219 ayat, 225 ayat, atau 226 ayat. Dan ada juga yang menambahkannya 236 ayat. Demikian yang diceritakan oleh Abu 'Amr ad-Dani dalam kitab al-Bayaan.
Jumlah kata dan hurufnya
Adapun jumlah kata-katanya, al-Fadhl bin Syadzan meriwayatkan dari 'Atha' bin Yasar, ia berkata: "(Jumlah kata dalam al-Qur-an adalah) tujuh puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh sembilan (77439) kata."
Adapun jumlah hurufnya, 'Abdullah bin Katsir meriwayatkan dari Mujahid, ia berkata: "Menurut perhitungan kami jumlah huruf dalam al-Qur-an adalah tiga ratus dua puluh satu ribu seratus delapan puluh (321180) huruf." Al-Fadhl meriwayatkan dari 'Atha' bin Yasar bahwa jumlahnya tiga ratus dua puluh tiga ribu lima belas (323015) huruf. Sallam Abu Muhammad al-Himmani mengatakan bahwa al-Hajjaj mengumpulkan par qari', hafizh, dan para penulis, lalu mengatakan: "Beritahukan kepadaku berapa jumlah huruf al-Qur-an seluruhnya?" Mereka menjawab: "Kami mengumpulkan dan menghitungnya. Jumlahnya adalah tiga ratus empat puluh ribu tujuh ratus empat puluh (340740) huruf."
Pembagian lain bagi al-Qur-an
Kemudian, ia (al-Hajjaj) berkata: "Mereka pun memberitahukan kepadaku bahwa bagian paling tengah dari al-Qur-an adalah huruf fa' dalam surat al-Kahfi, pada kata {وَلْيَتَلَطَّفْ}. Sepertiga pertamanya adalah ayat seratus dari surat Baraa-ah (at-Taubah), sepertiga keduanya adalah ayat seratus atau seratus satu dari surat asy-Syu'araa'. Dan selanjutnya adalah sepertiga terakhir. Sepertujuh pertama adalah sampai huruf dal pada firman Allah (Qur-an Surat an-Nisaa': ayat 55): {وَمِنْهُمْ مَنْ صَدَّ عَنْهُ}. Sepertujuh yang kedua sampai huruf ta' pada firman Allah dalam surat al-A'raaf: {حَبِطَتْ}. Sepertujuh ketiga sampai huruf alif kedua pada firman Allah dalam surat ar-Ra'd: {أُكُلَهَا}. Sepertujuh keempat sampai huruf alif pada firman Allah dalam surat al-Hajj: {جَعَلْنَا مَنْسَكًا}. Sepertujuh kelima sampai huruf ha' pada firman Allah dalam surat al-Ahzaab: {وَمَا كَانَ لِمُوءْ مِنٍ وَلَا مُوءْ مِنَةٍ}. Sepertujuh keenam sampai huruf wawu pada firman Allah dalam surat al-Fat-h: {الظَّانِّيْنَ بِاللَّهِ ظَنَّ السَّوْءِ}. Sepertujuh terakhir sampai akhir al-Qur-an.
Sallam Abu Muhammad berkata: "Kami menelitinya selama empat bulan." Mereka mengatakan: "Al-Hajjaj biasa membaca seperempat al-Qur-an pada setiap malam."
"Seperempat pertama sampai akhir surat al-An'aam. Seperempat kedua sampai firman Allah {وَلْيَتَلَطَّفْ} dalam surat al-Kahfi. Seperempat ketiga hingga akhir surat az-Zumar. Dan seperempat terakhir sampai akhir al-Qur-an.
Syaikh Abu 'Amr ad-Dani menceritakan dalam kitabnya al-Bayaan sesuatu yang berbeda dengan penjelasan di atas, wallaahu a'lam.
Pembagian hizb dan juz
Adapun pembagian hizb dan juz, maka telah masyhur bahwa al-Qur-an terdiri dari 30 juz sebagaimana didapati pada mush-haf di madrasah-madrasah dan yang lainnya. Dan telah kami sebutkan sebuah hadits tentang pembagian hizb al-Qur-an yang dilakkan oleh para Shahabat radhiyallaahu 'anhum. Dan sebuah hadits dalam Musnad al-Imam Ahmad, Sunan Abi Dawud, Sunan Ibni Majah dan yang lainnya dari Aus bin Hudzaifah bahwa ia bertanya kepada para Shahabat Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam semasa hidupnya, bagaimanakah mereka membagi hizb al-Qur-an? Mereka mengatakan: sepertiga, seperlima, sepertujuh, sepersembilan, sepersebelas, sepertiga belas, dan hizb-hizb mufashshal (surat-surat pendek mulai dari surat Qaaf) hingga selesai. (23)
Makna "surat" dan pecahan kalimat
(Pasal) Para ulama berbeda pendapat tentang makna "سُوْرَةٌ", dari manakah kata ini berasal. Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah suatu tempat yang jelas dan tinggi. An-Nabighah berkata:
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَعْطَاكَ سُوْرَةٌ
تَرَى كُلَّ مَلَكٍ دُوْنَهَا يَتَذَ بْذَبُ
"Tidakkah engkau lihat Allah telah memberimu tempat yang tinggi
Engkau dapat melihat seluruh kerajaan terbentang di bawahnya"
Seolah-olah seorang pembaca al-Qur-an berpindah dengan surat dari satu tempat ke tempat lain. Dikatakan pula bahwa maknanya adalah kemuliaan dan ketinggian. Seperti batas suatu begeri (yang biasanya berupa pagar yang tinggi, -pent). Dikatakan pula bahwa dinamakan surat karena ia merupakan potongan dari al-Qur-an dan bagian darinya. Diambil dari kata as-aarul inaa', yaitu pecahan suatu bejana. Berdasarkan hal ini maka asalnya adalah mahmuz (mengandung huruf hamzah), lalu diringankan hamzahnya, kemudian diganti dengan huruf wawu lalu dilebur ke dalamnya, jadilah kata suurah. Dikatakan juga bahwa disebut surah karena kesempurnaan dan kelengkapannya, karena orang Arab menyebut unta yang sempurna dengan sebutan suurah.
(Aku katakan:) Kemungkinan, kata ini berasal dari makna penggabungan dan pembatasan bagi ayat-ayatnya. Sebagaimana disebut suwarul balad, yaitu batas negeri, karena batas ini mengelilingi rumah-rumah dan tempat tinggal di dalamnya. Bentuk jamak dari kata suurah ini adalah suwar (سُوَرٌ), dengan memfat-hahkan huruf wawu. Dan kadangkala dijamakkan dengan kata suuraat (سُوْرَاتٌ) atau suwaraat (سُوَرَاتٌ).
Makna "al-Ayah" (Ayat)
Adapun ayat, diambil dari makna alamat (tanda) atas pemenggalan suatu kalimat yang sebelumnya dari kalimat setelahnya, dan pemisahnya. Jadi, kalimat ini berbeda dengan kalimat setelahnya dan terpisah darinya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
...إِنَّ ءَايَةَ مُلْكِهِ...
"...Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja..." (QS. Al-Baqarah: 248)
Dikatakan: "Disebut ayat karena ia adalah keajaiban yang mana manusia tidak akan mampu membuat semisalnya." Sibawaih berkata: "Asalnya adalah ayayah (أَيَيَة), seperti akamah (أَكَمَةٌ) dan syajarah (شَجَرَةٌ), dengan huruf yaa' diharakatkan dan huruf yang sebelumnya (hamzah) difath-hahkan. Lalu huruf yaa" diubah menjadi alif menjadi (اية), dengan huruf hamzah yang dipanjangkan."
Al-Kisa-i berkata: "Asalnya (ايية), menuruti wazan (امنة) (aaminah). Lalu huruf yaa' diubah menjadi alif kemudian dihapus karena bercampur dengan alif sebelumnya."
Al-Farra' berkata: "Asalnya dari kata ayyah (ايّة) dengan huruf yaa' ditasydid. Kemudian huruf yaa' yang pertama diubah menjadi alif untuk menghindari tasydid sehingga menjadi (اية). Bentuk jamaknya (اي), (أيات) dan (اياي).
Makna "al-Kalimah" (Kata)
Adapun al-kalimah (kata) adalah satu lafazh. Kadang terdiri dari dua huruf -seperti (ما), (لا) dan lain-lain- dan kadangkala terdiri lebih dari dua huruf, dan paling banyak terdiri dari sepuluh huruf -seperti (لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ), (أَنُلْزِمُكُمُوْهَا), (فَأَسْقَيْنَا كُمُوْهُ). Kadangkala satu kata merupakan satu ayat tersendiri, misalnya: (وَالْفَجْرِ), (وَالضُّحَى), dan (وَالعَصْرِ). Demikian juga (الم), (طه), (يس), (حم). Menurut para ulama Kufah, (حم), (عسق), adalah dua kalimah. Dan sebagian yang lain berpendapat bahwa kata seperti ini bukan ayat, tetapi pembuka-pembuka surat. Abu 'Amr ad-Dani mengatakan: "Aku tidak mengetahui satu kata yang berdiri sebagai sebuah ayat kecuali firman Allah Ta'ala: (مُدْ هَا مَّتَان), dalam surat ar-Rahman.
Al-'Ajamiyyah (kata-kata selain Arab) dalam al-Qur-an
(Pasal) Al-Qurthubi berkata: "Para ulama sepakat bahwa di dalam al-Qur-an tidak ada satu pun susunan bahasa 'ajam (selain Arab). Dan mereka sepakat bahwa di dalam al-Qur-an disebutkan beberapa nama 'ajam, seperti Ibrahim, Nuh serta Luth. Lalu mereka berbeda pendapat apakah di dalam al-Qur-an masih ada kata-kata 'ajam (non Arab) selain itu? Al-Baqilani dan ath-Thabari mengingkarinya. Keduanya berkata: "Adapun kata-kata dalam al-Qur-an yang mirip dengan kata-kata 'ajam, maka itu termasuk ke dalam bab kata-kata yang biasa digunakan untuk semua bahasa."
===
(1) Muslim 1/343 nomor 476.
(2) Ahmad 5/145. Shahih. Dishahihkan oleh Syaikh Syu'aib al-Arnauth hafizhahullaah dalam kitab al-Musnad 35/224 nomor 21299, cetakan Mu-assasah ar-Risalah - Beirut.
(3) Ahmad 4/131. Shahih. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam kitabnya Shahiih Jaami'ush Shaghiir nomor 2643. Abu Dawud nomor 4604.
(4) Tafsiir ath-Thabari 1/80.
(5) Fat-hul Baari 1/205. Shahiih al-Bukhari nomor 143.
(6) Tafsiir ath-Thabari 1/90.
(7) Tafsiir ath-Thabari 1/81.
(8) Fat-hul Baari 6/572. Shahiih al-Bukhari nomor 3461. Diriwayatkan pula oleh at-Tirmidzi nomor 2669, Ahmad 2/159.
(9) Tafsiir ath-Thabari 1/90.
(10) Tafsiir ath-Thabari 1/90.
(11) Tafsiir ath-Thabari 1/91.
(12) Tafsiir ath-Thabari 1/77, Tuhfatul Ahwadzi 8/277, an-Nasa-i dalam Fadhaa-ilul Qur-aan nomor 114, Abu Dawud dalam al-'Ilmu min Riwayati Abil Hasan bin al-'Abdi -dikatakan oleh al-Mizzi dalam al-Athraaf 4/423. Dha'if. Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi nomor 2951, dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhu. Lihat pula Silsilah adh-Dha'iifah nomor 1783.
(13) Tafsiir ath-Thabari 1/78.
(14) Tafsiir ath-Thabari 24/229.
(15) Tafsiir ath-Thabari 1/86.
(16) Tafsiir ath-Thabari 23/602.
(17) Tafsiir ath-Thabari 1/86.
(18) Tafsiir ath-Thabari 1/86.
(19) Tafsiir ath-Thabari 1/86.
(20) Ahmad 2/101, 305, 495, Tuhfatul Ahwadzi 7/407, dan al-Hakim 1/101. Shahih. Diriwayatkan oleh Abu Dawud nomor 3658, at-Tirmidzi nomor 2649, Ibnu Majah nomor 264, 266. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah, lihat kitab Shahiih at-Targhib wa at-Tarhiib nomor 120.
(21) Tafsiir ath-Thabari 1/75.
(22) Al-Itqaan 1/28.
(23) Ahmad 4/9, Abu Dawud 2/114, dan Ibnu Majah 1/427. Dha'if. Abu Dawud nomor 1339, Ibnu Majah nomor 1345. Didha'ifkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah. Lihat Dha'iif Sunan Abi Dawud nomor 297 dan Dha'iif Sunan Ibni Majah nomor 2, 83.
===
Maraji'/ sumber: http://baitulkahfitangerang.blogspot.co.id/search/label/shahih%20tafsir%20ibnu%20katsir%20jilid%201
===
Baca selanjutnya Tafsir surat al-Fatihah dalam Tafsir Ibnu Katsir.
Inilah muqaddimah yang disampaikan al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullaah dalam kitabnya Tafsir al-Qur`an al-'Azhim atau dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir dan kami tulis ulang dalam blog Tafsir Ibnu Katsir Indonesia.