Wednesday, 13 April 2016

Tafsir Ibnu Katsir Surat al-Baqarah Ayat 4 | Tafsir Ibnu Katsir Indonesia

tafsir ibnu katsir
Tafsir Ibnu Katsir. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. Surat al-Baqarah (4).

Al-Baqarah, Ayat 4

"Dan mereka yang beriman kepada al-Kitab (al-Qur-an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat." (QS. 2: 4)

Ibnu 'Abbas ra-dhiyallaahu 'anhuma berkata: "Firman Allah: 'Dan mereka yang beriman kepada al-Kitab (al-Qur-an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat', maksudnya adalah mereka membenarkan apa yang engkau (Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam) bawa dari Allah Sub-haanahu wa Ta'aala dan apa yang dibawa oleh para Nabi sebelummu. Mereka tidak membeda-bedakan di antara para Rasul tersebut serta tidak mengingkari apa yang mereka bawa dari Rabb mereka." (40)

"'Dan mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat', yakni akan adanya hari Kebangkitan, Kiamat, Surga, Neraka, Hisab dan Timbangan." (41)

Disebut akhirat karena ia ada setelah kehidupan dunia.

Tafsir Ibnu Katsir. Sifat-sifat Kaum Mukminin


Orang-orang yang menyandang sifat ini (mukminin) adalah orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang tersebut dalam ayat: "(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka." (QS. Al-Baqarah: 3)

Diriwayatkan dari Mujahid, ia mengatakan: "Empat ayat pertama dari surat al-Baqarah menjelaskan sifat orang-orang yang beriman. Dua ayat berikutnya menjelaskan sifat orang-orang kafir. Dan tiga belas ayat menjelaskan sifat orang-orang munafik. Keempat ayat tersebut umum bagi setiap mukmin yang menyandang sifat-sifat tersebut, baik dari kalangan bangsa Arab maupun non Arab, serta Ahli Kitab, baik ummat manusia maupun kalangan jin. Salah satu sifat tidak akan sempurna tanpa adanya sifat-sifat yang lain. Bahkan masing-masing sifat menuntut adanya sifat yang lain. Dengan demikian keimanan kepada yang ghaib, shalat, dan zakat, tidak akan benar kecuali dengan adanya iman kepada apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, juga apa yang dibawa oleh para Rasul sebelumnya, serta keyakinan akan adanya kehidupan akhirat. Dan Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman untuk memenuhi hal itu melalui firman-Nya:

"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta Kitab yang Allah turunkan sebelumnya." (QS. An-Nisaa': 136)

Allah Sub-haanahu wa Ta'aala juga berfirman:

"Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka, dan katakanlah: 'Kami telah beriman kepada (Kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu, Ilah kami dan Ilahmu adalah satu.'" (QS. Al-Ankabuut: 46)

Allah juga berfirman:

"Hai orang-orang yang telah diberi al-Kitab, berimanlah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan (al-Qur-an) yang membenarkan Kitab yang ada padamu." (QS. An-Nisaa': 47)

Allah juga berfirman:

"Katakanlah: 'Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun, hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil dan al-Qur-an yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu." (QS. Al-Maa-idah: 68)

Dan Allah telah menyebutkan tentang orang-orang yang beriman secara keseluruhan yang memenuhi semua itu dalam firman-Nya:

"Rasul telah beriman kepada al-Qur-an yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): 'Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari Rasul-rasul-Nya." (QS. Al-Baqarah: 285)

Dan juga firman-Nya:

"Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka." (QS. An-Nisaa': 152)

Dan ayat-ayat lain yang menunjukkan perintahkan kepada orang-orang yang beriman agar beriman kepada Allah, Rasul-rasul-Nya dan Kitab-kitab-Nya.

Akan tetapi orang-orang yang beriman dari kalangan Ahli Kitab memiliki keistimewaan, karena mereka telah beriman kepada Kitab-kitab suci yang ada di tangan mereka secara terperinci. Apabila mereka masuk Islam dan beriman dengannya secara terperinci juga, maka mereka akan mendapatkan pahala dua kali lipat. Adapun selain mereka hanyalah memperoleh keimanan tentang Kitab-kitab suci terdahulu secara global saja. Sebagaimana disebutkan dalam kitab ash-Shahiih:

"Jika Ahli Kitab menyampaikan riwayat kepadamu, maka janganlah mendustakan mereka dan jangan pula membenarkan mereka. Akan tetapi katakanlah: 'Kami beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada kami dan apa-apa yang diturunkan kepada kalian." (42)

Akan tetapi bisa saja keimanan mayoritas orang-orang Arab kepada Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam lebih sempurna, lebih universal dan lebih komplit daripada keimanan orang-orang Ahli Kitab yang masuk ke dalam Islam. Kalaupun mereka mendapat pahala dua kali lipat dari sisi tersebut, akan tetapi orang-orang selain mereka bisa saja memperoleh keimanan yang membuat pahala mereka berlipat ganda melebihi pahala dua kali lipat yang mereka peroleh. Wallaahu a'lam.

===

(40) Tafsiir ath-Thabari 1/244.

(41) Ibnu Abi Hatim 1/39.

(42) Abu Dawud 4/59. Diriwayatkan pula oleh al-Bukhari no. 4485.

===

Maraji'/ sumber: http://baitulkahfitangerang.blogspot.co.id/search/label/shahih%20tafsir%20ibnu%20katsir%20jilid%201

===

Baca juga:

Tafsir al Quran Ibnu Katsir Surat al-Baqarah

Demikianlah Tafsir Ibnu Katsir Surat al-Baqarah Ayat 4.

Buku Tafsir Ibnu Katsir Surat al-Baqarah Ayat 3 | Tafsir Ibnu Katsir Indonesia

buku tafsir ibnu katsir
Buku Tafsir Ibnu Katsir. Shahih Tafsir Ibnu Katsir.Surat al-Baqarah (3).

Al-Baqarah, Ayat 3

Al-la-dziina yu'-minuuna bil ghaibi...
(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib... (QS. 2: 3)

Buku Tafsir Ibnu Katsir. Makna Iman.


Abu Ja'far ar-Razi meriwayatkan dari al-'Alla' bin al-Musayyab bin Rafi', dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwash, dari 'Abdullah, ia berkata: "Iman itu adalah pembenaran." (23)

'Ali bin Abi Thalhah dan juga yang lainnya menceritakan dari Ibnu 'Abbas ra-dhiyallaahu 'anhuma, ia mengatakan: "Yu'-minuuna 'Mereka yang beriman', maknanya adalah mereka membenarkan." (24)

Sedangkan Ma'mar mengatakan dari az-Zuhri bahwa iman adalah 'amal. (25)

Abu Ja'far ar-Razi meriwayatkan dari ar-Rabi' bin Anas: "Yu'-minuuna 'Mereka yang beriman', maknanya mereka takut." (26)

Ibnu Jarir mengatakan: "Yang lebih baik dan tepat adalah mereka harus menyifati diri dengan iman kepada yang ghaib, baik melalui ucapan, perbuatan maupun keyakinan. Kata iman itu mencakup keimanan kepada Allah, Kitab-kitab-Nya, dan Rasul-rasul-Nya sekaligus membuktikan pernyataan itu melalui 'amal perbuatan."

Aku (penulis) katakan: "Adapun secara bahasa, iman berarti pembenaran semata. Al-Qur-an terkadang menggunakan kata ini untuk pengertian tersebut. Sebagaimana firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala: "Ia beriman kepada Allah, dan mempercayai orang-orang mukmin." (QS. At-Taubah: 61)

Dan sebagaimana perkataan saudara-saudara Yusuf kepada ayah mereka: "Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar." (QS. Yusuf: 17)

Demikian pula ketika kata iman digunakan beriringan dengan 'amal shalih, sebagaimana firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala: "Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan 'amal shalih." (QS. Al-'Ashr: 3)

Adapun jika kata itu digunakan secara mutlak, maka iman menurut syari'at tidak mungkin terwujud kecuali melalui keyakinan, ucapan dan 'amal perbuatan." (27)

Iman itu bisa bertambah dan berkurang. Dalam hal ini telah banyak hadits maupun atsar yang membahasnya. Dan kami telah menyajikannya secara khusus dalam kitab Syarh al-Bukhari. Hanya milik Allah-lah pujian dan sanjungan.

Di antara 'ulama ada yang menafsirkannya dengan rasa takut sebagaimana firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala: "Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Rabbnya yang tidak tampak oleh mereka." (QS. Al-Mulk: 12)

Dia juga berfirman: "(Yaitu) orang yang takut kepada Rabb Yang Maha Pemurah, sedang Dia tidak terlihat (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat." (QS. Qaaf: 33)

Rasa takut adalah buah dari iman dan 'ilmu, sebagaimana firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala: "Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah 'ulama." (QS. Faathir: 28)

Yang Dimaksud dengan al-Ghaib


Adapun tentang maksud dari al-ghaib, terdapat berbagai ungkapan 'ulama Salaf yang beragam dan semua benar serta sesuai dengan apa yang dimaksud.

Tentang firman Allah, "Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib." (QS. Al-Baqarah: 3) Abu Ja'far ar-Razi meriwayatkan dari ar-Rabi' bin Anas, dari Abul 'Aliyah, ia mengatakan: "Mereka beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, hari Akhir, Surga dan Neraka serta pertemuan dengan Allah. Mereka pun mengimani adanya kehidupan setelah kematian serta adanya hari kebangkitan. Dan semua itu adalah perkara ghaib." Hal senada juga dikatakan oleh Qatadah bin Di'amah. (28)

Sa'id bin Manshur meriwayatkan dari 'Abdurrahman bin Yazid, ia mengatakan: "Kami duduk-duduk bersama 'Abdullah bin Mas'ud. Maka kami pun mengenang para Shahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam dan apa yang telah mereka lakukan. Maka 'Abdullah bin Mas'ud berkata: 'Sesungguhnya kenabian Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam telah jelas bagi orang yang melihatnya. Demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Dia, tidaklah seseorang itu beriman dengan keimanan yang lebih agung daripada keimanan kepada yang ghaib.'

Kemudian dia membaca ayat:

"Alif laam miim. Kitab (al-Qur-an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (al-Qur-an) yang telah diturunkan kepadamu dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb-nya, dan merekalah orang-orang yang beruntung.' (QS. Al-Baqarah: 1-5)." (29)

Hal senada juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim, Ibnu Mardawaih dan al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak. (30)

Al-Hakim mengatakan: "Hadits ini shahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslin, namun keduanya tidak meriwayatkan."

Mengenai makna hadits ini, Imam Ahmad meriwayatkan dari Ibnu Muhairiz, ia menceritakan: "Aku pernah berkata kepada Abu Jam'ah ra-dhiyallaahu 'anhu: 'Beritahukanlah kepada kami sebuah hadits yang engkau dengar dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam!' Ia pun berkata: 'Baiklah, akan aku sampaikan sebuah hadits kepadamu. Kami pernah makan siang bersama Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Di antara kami ada Abu 'Ubaidah bin al-Jarrah, lalu ia bertanya: 'Wahai Rasulullah, adakah seseorang yang lebih baik dari kami, sedangkan kami telah masuk Islam dan berjihad bersamamu?' Maka beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

'Ya, ada. Yaitu suatu kaum setelah kalian, mereka beriman kepadaku, padahal mereka tidak melihatku.'" (31)

...wa yuqiimuunash shalaata wa mimmaa razaqnaahum yunfiquun
...yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (QS. Al-Baqarah: 3)

Makna Mendirikan Shalat


Ibnu 'Abbas ra-dhiyallaahu 'anhuma mengatakan: "Wa yuqiimuunash shalaata 'Mendirikan shalat', berarti mendirikan shalat dengan seluruh kewajibannya." (32)

Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, ia mengatakan: "Mendirikan shalat berarti mengerjakan dengan menyempurnakan ruku', sujud, dan bacaannya dengan penuh kekhusyu'an dan menghadapkan hati kepada Allah di dalamnya." (33)

Qatadah berkata: "(Mendirikan shalat) berarti berusaha mengerjakannya tepat waktu, serta menjaga wudhu', ruku', dan sujudnya." (34)

Sedangkan Muqatil bin Hayyan mengatakan: "(Mendirikan shalat) berarti menjaga untuk selalu mengerjakannya tepat waktu, menyempurnakan wudhu', ruku', sujud, bacaan al-Qur-an, tasyahud, serta membaca shalawat kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam. Demikianlah makna mendirikan shalat." (35)

Yang Dimaksud dengan Infaq


'Ali bin Abi Thalhah dan yang lainnya meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas tentang firman Allah: "Wa mimmaa razaqnaahum yunfiquun 'Dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka', ia mengatakan: 'Maksudnya adalah mengeluarkan zakat dari harta kekayaan yang ia miliki.'" (36)

As-Suddi meriwayatkan dari Abu Malik dan Abu Shalih, keduanya meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas dan Murrah, keduanya meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud dan beberapa Shahabat Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, ia mengatakan: "'Dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka', maksudnya adalah nafkah yang diberikan seseorang kepada keluarganya." Dan ini sebelum turun ayat tentang zakat. (37)

Juwaibir meriwayatkan dari adh-Dhahhak, ia mengatakan: "Dahulu, infaq adalah 'amal yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah sesuai dengan kemampuan dan kemudahan yang mereka miliki, hingga turunlah ayat tentang kewajiban-kewajiban shadaqah, yakni tujuh ayat dalam surat at-Taubah yang menerangkan tentang shadaqah, dan ini adalah ayat-ayat yang menasakh (menghapuskan) hukum yang ada dan menetapkan hukum yang baru." (38)

Aku (Ibnu Katsir) katakan: "Sering kali Allah menyandingkan antara shalat dan infaq (zakat). Karena sesungguhnya shalat merupakan hak Allah dan sekaligus sebagai bentuk 'ibadah kepada-Nya. Ia mencakup pengesaan, sanjungan, pengharapan, pujian, permohonan do'a, dan tawakkal kepada-Nya. Sedangkan infaq merupakan satu bentuk perbuatan baik kepada sesama makhluk dengan memberikan manfaat kepada mereka. Dan yang paling berhak mendapatkannya adalah keluarga, kaum kerabat serta orang-orang terdekat. Dengan demikian segala bentuk nafkah dan zakat yang wajib tercakup dalam firman Allah Ta'ala: "Dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka."

Oleh karena itu, tercantum dalam kitab Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim, dari Ibnu 'Umar ra-dhiyallaahu 'anhuma, bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Islam didirikan di atas lima dasar: Bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan melaksanakan ibadah haji." (39)

Dan hadits-hadits dalam masalah ini sangatlah banyak.

Makna Shalat


Dalam percakapan bahasa Arab, shalat adalah do'a. Kemudian menurut syari'at, shalat diartikan sebagai ruku', sujud, dan amalan-amalan khusus pada waktu yang khusus dengan syarat-syaratnya yang jelas serta sifat-sifat dan macamnya yang telah masyhur.

===

(23) Tafsiir ath-Thabari 1/235.

(24) Ibid (sama dengan atas).

(25) Ibid.

(26) Ibid.

(27) Ibnu Abi Hatim 1/35.

(28) Tafsiir ath-Thabari 1/236.

(29) Sa'id bin Manshur 2/544.

(30) Ibnu Abi Hatim 1/34, dan al-Hakim 2/260.

(31) Ahmad 4/106. Dishahihkan oleh Syaikh al-Arna'uth hafizhahullaah dalam al-Musnad 28/184 no. 16977, cet. Ar-Risalah.

(32) Tafsiir ath-Thabari 1/241.

(33) Tafsiir ath-Thabari 1/241.

(34) Ibnu Abi Hatim 1/37.

(35) Ibnu Abi Hatim 1/37.

(36) Tafsiir ath-Thabari 1/243.

(37) Tafsiir ath-Thabari 1/243.

(38) Tafsiir ath-Thabari 1/243.

(39) Fat-hul Baari 1/64 dan Muslim 1/45. Al-Bukhari no. 8, Muslim no. 16, 22.

===

Maraji'/ sumber: http://baitulkahfitangerang.blogspot.co.id/search/label/shahih%20tafsir%20ibnu%20katsir%20jilid%201

===

Baca juga:

Tafsir al Quran Ibnu Katsir Surat al-Baqarah

Demikianlah Buku Tafsir Ibnu Katsir Surat al-Baqarah Ayat 3.

Terjemah Tafsir Ibnu Katsir Surat al-Baqarah Ayat 2 | Tafsir Ibnu Katsir Indonesia

terjemah tafsir ibnu katsir
Terjemah Tafsir Ibnu Katsir. Shahih Tafsir Ibnu Katsir.Surat al-Baqarah (2).

Tiga Golongan Manusia dalam Menghadapi al-Qur-an, -pent

Al-Baqarah, Ayat 2

Golongan Mukmin, -pent

Dzaalikal kitaabu laa raiba fiihi hudal lilmuttaqiin
"Kitab (al-Qur-an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertakwa." (QS. 2: 2)

Terjemah Tafsir Ibnu Katsir. Tidak Ada Keraguan di dalam al-Qur-an.


Yang dimaksud dengan al-Kitab adalah al-Qur-an. Sedangkan ar-raib adalah keraguan. As-Suddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Shalih, dari Ibnu 'Abbas, dari Murrah al-Hamdani, dari Ibnu Mas'ud, dan dari beberapa orang Shahabat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam: Laa raiba fiihi maknanya adalah tidak ada keraguan di dalamnya. (19)

Hal senada juga dikatakan oleh Abud Darda', Ibnu 'Abbas, Mujahid, Sa'id bin Jubair, Abu Malik, Nafi' maula Ibnu 'Umar, 'Atha', Abul 'Aliyah, ar-Rabi' bin Anas, Muqatil bin Hayyan, as-Suddi, Qatadah, dan Isma'il bin Abi Khalid.

Ibnu Abi Hatim mengatakan: "Aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam masalah ini." (20)

Maknanya bahwa al-Qur-an ini sama sekali tidak mengandung keraguan di dalamnya, bahwa ia diturunkan dari sisi Allah, sebagaimana firman-Nya dalam surat as-Sajdah:

"Alif laam miim. Turunnya al-Qur-an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Rabb semesta alam." (QS. As-Sajdah: 1-2)

Sebagian mereka mengatakan bahwa yang demikian itu adalah kabar yang berarti larangan. Artinya, jangan kalian meragukannya.

Di antara para Qurra' ada yang menghentikan bacaannya ketika sampai pada kata "laa raiba" dan memulainya kembali dengan firman-Nya: "fiihi hudal lilmuttaqiin".

Ada juga yang menghentikan bacaan pada kata "laa raiba fiihi". Bacaan yang terakhir ini lebih tepat. Karena dengan bacaan seperti itu, maka firman-Nya "hudan" menjadi sifat bagi al-Qur-an itu sendiri. Dan kalimat itu lebih baik dan mendalam dari sekedar pengertian yang menyatakan adanya petunjuk di dalamnya "fiihi hudan".

"Hudan" ditinjau dari segi bahasa Arab bisa berkedudukan marfu' sebagai na'at (sifat) dan bisa juga manshub sebagai hal (keterangan keadaan).

Dikhususkannya Hidayah bagi Orang-orang yang Bertakwa


Hidayah ini hanya dikhususkan bagi orang-orang yang bertakwa, sebagaimana Allah berfirman:

"Al-Qur-an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedangkan al-Qur-an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh." (QS. Fushshilat: 44)

Dia juga berfirman:

"Dan Kami turunkan dari al-Qur-an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur-an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian." (QS. Al-Israa': 82)

Dan ayat-ayat lain yang menunjukkan pengkhususan orang-orang yang beriman bahwa hanya merekalah yang dapat mengambil manfaat dari al-Qur-an, karena al-Qur-an itu sendiri adalah petunjuk, dan tidak ada yang bisa meraihnya kecuali orang-orang yang berbuat ketaatan. Sebagaimana firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala:

"Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman." (QS. Yunus: 57)

Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas, Ibnu Mas'ud dan beberapa Shahabat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, bahwa makna firman Allah: "hudal lilmuttaqiin" berarti cahaya bagi orang-orang yang bertakwa.

Makna Muttaqin


Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbas ra-dhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Al-muttaqiin adalah orang-orang mukmin yang sangat takut berbuat syirik kepada Allah dan senantiasa berbuat taat kepada-Nya."

Diriwayatkan juga dari Ibnu 'Abbas, ia berkata: "Al-muttaqiin adalah orang-orang yang senantiasa menghindari siksaan Allah Ta'ala dengan tidak meninggalkan petunjuk yang diketahuinya dan mengharapkan rahmat-Nya dalam mempercayai apa yang terkandung dalam petunjuk tersebut."

Qatadah berkata: "Al-muttaqiin adalah mereka yang disifati oleh Allah Sub-haanahu wa Ta'aala dalam firman-Nya: "(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib dan mendirikan shalat," (QS. Al-Baqarah: 3) dan ayat selanjutnya.

Dan pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir bahwa ayat ini mencakup semua itu, dan pendapat inilah yang benar.

At-Tirmidzi dan Ibnu Majah meriwayatkan dari 'Athiyyah as-Sa'di ra-dhiyallaahu 'anhu, ia berkata, "Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

'Tidaklah seorang hamba meraih derajat muttaqiin (orang-orang yang bertakwa) hingga ia meninggalkan apa yang boleh ia lakukan untuk menghindari apa yang tidak boleh ia lakukan.'"

At-Tirmidzi mengatakan: "Hadits ini hasan gharib." (21)

Hidayah (Petunjuk) itu Ada Dua Macam


Yang dimaksud dengan huda (petunjuk) adalah keimanan yang tertanam di dalam hati. Dan tidak ada yang dapat meletakkannya di hati manusia kecuali Allah Sub-haanahu wa Ta'aala. Dalam hal ini Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi." (QS. Al-Qashash: 56)

Dia juga berfirman: "Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk." (QS. Al-Baqarah: 272)

Dia juga berfirman: "Barangsiapa yang Allah sesatkan, maka baginya tidak ada orang yang memberi petunjuk." (QS. Al-A'raaf: 186)

Dan Dia berfirman: "Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk, dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang pemimpin pun yang bisa memberi petunjuk kepadanya." (QS. Al-Kahfi: 17)

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya.

Juga dimaksudkan sebagai penjelasan tentang kebenaran, pembuktiannya, serta bimbingan menuju kepadanya. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman: "Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus." (QS. Asy-Syuuraa: 52)

Dia berfirman: "Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan, dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk." (QS. Ar-Ra'd: 7)

Dia juga berfirman: "Dan adapun kaum Tsamud, maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai kebutaan (kesesatan) dari petunjuk itu." (QS. Fushshilat: 17)

Dan Dia berfirman: "Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan." (QS. Al-Balad: 10)

Yang dimaksud dengan dua jalan adalah jalan kebaikan dan jalan keburukan, dan inilah yang lebih tepat. Wallaahu a'lam.

Makna Takwa


Takwa pada dasarnya berarti menjaga diri dari hal-hal yang dibenci, karena kata taqwa berasal dari kata al-wiqaayah (penjagaan).

Dikatakan bahwa 'Umar bin al-Khaththab ra-dhiyallaahu 'anhu pernah bertanya kepada Ubay bin Ka'ab ra-dhiyallaahu 'anhu mengenai takwa. Lalu Ubay bertanya kepadanya: "Apakah engkau pernah melewati jalan berduri?" 'Umar menjawab: "Ya." Ubay bertanya lagi: "Lalu apa yang engkau lakukan?" 'Umar menjawab: "Aku akan berusaha keras dan bersungguh-sungguh untuk menghindarinya." Lalu Ubay mengatakan: "Itulah takwa." (22)

===

(19) Tafsiir ath-Thabari 1/228.

(20) Ibnu Abi Hatim 1/31.

(21) Tuhfatul Ahwadzi 7/147 dan Ibnu Majah 2/1409. Dha'if: At-Tirmidzi no. 2451, Ibnu Majah no. 4215. Didha'ifkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam kitabnya Dha'iif at-Targhiib no. 1081.

(22) Tafsiir al-Baghawi 1/59, Jaami'ul 'Uluum wal Hikam 1/160.

===

Maraji'/ sumber: http://baitulkahfitangerang.blogspot.co.id/search/label/shahih%20tafsir%20ibnu%20katsir%20jilid%201

===

Baca juga:

Tafsir al Quran Ibnu Katsir Surat al-Baqarah

Demikianlah Terjemah Tafsir Ibnu Katsir Surat al-Baqarah Ayat 2.

Tuesday, 12 April 2016

Tafsir Quran Ibnu Katsir Surat al-Baqarah Ayat 1 | Tafsir Ibnu Katsir Indonesia

tafsir quran ibnu katsir
Tafsir Quran Ibnu Katsir. Shahih Tafsir Ibnu Katsir.Surat al-Baqarah (1).

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Al-Baqarah, Ayat 1

Alif Laam Miim. (QS. 2: 1)

Tafsir Quran Ibnu Katsir. Pembicaraan seputar penggalan huruf-huruf di awal surat.


Penggalan huruf-huruf yang terdapat pada awal beberapa surat adalah huruf-huruf yang hanya Allah saja yang mengetahui maknanya. Pendapat seperti ini diriwayatkan dari Abu Bakar, 'Umar, 'Utsman, 'Ali dan Ibnu Mas'ud ra-dhiyallaahu 'anhum. Ada yang mengatakan bahwa huruf-huruf itu adalah nama-nama surat al-Qur-an.

Ada yang mengatakan bahwa itu adalah huruf-huruf pembuka yang dengannya Allah membuka al-Qur-an.

Khashif meriwayatkan dari Mujahid, ia mengatakan: "Pembuka seluruh surat-surat al-Qur-an adalah Qaf, Shad, ha mim, Tha sin mim, dan Alif lam ra, dan huruf-huruf hija-iyyah lainnya."

Sebagian ahli bahasa Arab mengatakan: "Ia adalah huruf-huruf mu'jam. Allah mencukupkan menyebut sebagian darinya dan tidak menyebutkan selebihnya yang seluruhnya berjumlah 28 huruf, sebagaimana seseorang mengatakan: 'Anakku dapat menulis huruf, alif, ba, ta, tsa, ...' artinya, anak tersebut bisa menulis 28 huruf-huruf hija-iyyah, hanya saja ia menyebutkan sebagian saja." Demikian yang diceritakan oleh Ibnu Jarir. (18)

Aku (Ibnu Katsir) katakan bahwa jumlah keseluruhan huruf-huruf yang disebutkan di awal surat dengan tidak menghitung huruf yang disebutkan lebih dari satu kali adalah 14 huruf, yaitu:

Alif, lam, mim, shad, ra, kaf, Ha, ya, 'ain, tha, sin, ha, qaf, nun.

Semua huruf itu dapat dikumpulkan dalam sebuah kalimat:

نَصٌّ حَكِيْمٌ قَاطِعٌ لَهُ سِرٌّ

Nashshun hakiimun qaa-thi'un lahu sirrun

Jumlahnya adalah setengah dari total keseluruhan. Yang disebutkan lebih mulia daripada yang tidak disebutkan. Penjelasan lebih lanjut merupakan spesialisasi ilmu sharaf. Az-Zamakhsyari mengatakan: "Huruf-huruf yang berjumlah 14 ini merangkum semua jenis huruf. Yaitu dari huruf mahmuusah sampai majhuurah, dari rakhwah sampai syadiidah, dari muthabbaqah sampai maftuuhah, dari musta'liyah sampai munkhafidhah, dan huruf qalqalah." Kemudian ia menyebutkannya secara terperinci, lalu ia berkata: "Mahasuci Allah yang sangat dalam hikmah-Nya dalam segala hal. Jenis huruf-huruf yang disebutkan ini adalah huruf-huruf yang sangat banyak digunakan. Dan telah engkau ketahui sebelumnya bahwa jumlah mayoritas dapat disamakan kedudukannya dengan jumlah keseluruhannya."

Dari sini, sebagian ulama memberi penjelasan sebagai berikut: "Tidak ragu lagi, bahwa Allah menurunkan huruf-huruf tersebut tidaklah sia-sia atau percuma begitu saja. Oleh karena itulah sebagian orang jahil (bodoh) berkata: "Sesungguhnya di dalam al-Qur-an terdapat kata-kata yang hanya untuk dibaca saja sebagai ibadah, sementara ia tidak memiliki makna sama sekali." Sungguh anggapan mereka ini sangat keliru. Jelaslah bahwa huruf-huruf ini memiliki makna tersendiri. Kalaulah ada sebuah penjelasan dari al-Ma'shum shallallaahu 'alaihi wa sallam, tentu kita akan menjelaskannya berdasarkan keterangan tersebut. Jika tidak ada maka kita menahan diri darinya. Dan kita katakan: "Kami mengimaninya, seluruhnya berasal dari sisi Allah Sub-haanahu wa Ta'aala." Para 'ulama tidak bersepakat dalam menafsirkan huruf-huruf tersebut. Bahkan mereka berselisih pendapat. Jika nyata baginya bahwa sebagian pendapat memiliki dalil, maka hendaklah ia mengikutinya. Jika tidak, maka hendaklah ia menahan diri, sehingga kebenaran menjadi jelas baginya. Ini dilihat dari satu sisi.

Penggalan huruf-huruf tersebut menunjukkan mukjizat al-Qur-an


Dilihat dari sisi lain tentang hikmah disebutkannya huruf-huruf hija-iyyah di awal-awal surat ini, terlepas dari makna yang terkandung di dalamnya, dikatakan bahwa penggalan huruf-huruf yang disebutkan di awal-awal surat dimaksudkan untuk menunjukkan mukjizat al-Qur-an dan menjelaskan bahwa makhluk tidak bisa membuat tandingannya. Padahal ia hanyalah rangkaian dari penggalan huruf-huruf yang biasa mereka gunakan dalam percakapan sehari-hari. Madzhab ini telah disampaikan oleh ar-Razi dalam tafsirnya dari al-Mubarrid dan sejumlah ahli tahqiq. Al-Qurthubi menghikayatkan dari al-Farra' dan Qathrab yang semakna dengan madzhab di atas. Dan pendapat ini didukung oleh az-Zamakhsyari dalam kitab al-Kasysyaaf-nya dan ia mendukung penuh pendapat ini. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Abu 'Abbas Ibnu Taimiyyah ra-dhiyallaahu 'anhu dan guru kami al-Hafizh al-Mujtahid Abul Hajjaj al-Mizzi. Ia menceritakannya kepadaku dari Ibnu Taimiyyah.

Az-Zamakhsyari mengatakan, "Huruf-huruf tersebut tidak disebutkan keseluruhannya di awal al-Qur-an. Namun penyebutannya diulang-ulang untuk menguatkan tantangan dan ketidakmampuan manusia menyainginya. Sebagaimana halnya beberapa kisah yang penyebutannya diulang-ulang. Dan telah diulang-ulang juga tantangan dari Allah secara terang-terangan dalam banyak ayat."

Ia melanjutkan, "Ada yang disebutkan satu huruf saja, seperti qaf, nun, shad. Ada yang disebutkan dua huruf, seperti ha mim. Ada yang disebutkan tiga huruf, seperti alif lam mim. Ada yang empat huruf, seperti alif lam mim ra dan alif lam mim shad. Ada yang lima huruf, seperti kaf Ha ya 'ain shad dan ha mim 'ain sin qaf. Karena demikianlah uslub (metode) bahasa Arab dalam pembentukan kalimat. Ada yang satu huruf, ada yang dua huruf, ada yang tiga huruf, ada yang empat huruf, dan ada yang lima huruf, tidak ada yang lebih dari itu."

(Aku katakan) oleh karena itu setiap surat yang dibuka dengan huruf-huruf ini pasti disebutkan di dalamnya kemenangan al-Qur-an dan penjelasan tentang kehebatan dan kebesarannya. Hal itu dapat diketahui melalui penelitian. Itulah yang ditemui dalam 29 surat. Oleh karena itu Allah berfirman: "Alif laam miim. Kitab (al-Qur-an) ini tidak ada keraguan padanya." (QS. Al-Baqarah: 2)

"Alif laam miim. Allah, tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. Dia menurunkan al-Kitab (al-Qur-an) kepadamu dengan sebenarnya serta membenarkan Kitab yang telah diturunkan sebelumnya." (QS. Ali 'Imran: 1-3)

"Alif laam miim shaad. Ini adalah sebuah Kitab yang diturunkan kepadamu, maka janganlah ada kesempitan di dalam dadamu karenanya." (QS. Al-A'raaf: 2)

"Alif laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Rabb mereka." (QS. Ibrahim: 1)

"Alif laam miim. Turunnya al-Qur-an yang tidak ada keraguan padanya, (adalah) dari Rabb semesta alam." (QS. As-Sajdah: 1-2)

"Haa miim. Diturunkan dari (Rabb) Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang." (QS. Fushshilat: 2)

"Haa miim 'ain siin qaaf. Demikianlah Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana mewahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu." (QS. Asy-Syuuraa: 1-3)

Dan ayat-ayat lain yang menunjukkan kebenaran pendapat para 'ulama tersebut bagi siapa saja yang mau menelitinya, wallaahu a'lam.

===

(18) Tafsiir ath-Thabari 1/208.

===

Maraji'/ sumber: http://baitulkahfitangerang.blogspot.co.id/search/label/shahih%20tafsir%20ibnu%20katsir%20jilid%201

===

Baca juga:

Tafsir al Quran Ibnu Katsir Surat al-Baqarah

Demikianlah tafsir al Quran Ibnu Katsir surat al-Baqarah.

Tafsir al Quran Ibnu Katsir Surat al-Baqarah | Tafsir Ibnu Katsir Indonesia

tafsir al quran ibnu katsir
Tafsir al Quran Ibnu Katsir. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. Surat al-Baqarah.

Bismillaahir Rahmaanir Rahiim

Rabbi yassir wa a'in yaa kariim
"Ya Rabbku, berikanlah kemudahan dan pertolongan, ya Karim."

Surat al-Baqarah
(Sapi Betina)

Surat Madaniyyah
Surat ke-2: 286 Ayat

Tafsir al Quran Ibnu Katsir. Dalil-dalil yang Menunjukkan Keutamaan Surat al-Baqarah.


Dalam Musnad al-Imam Ahmad, Shahiih Muslim, Sunan at-Tirmidzi dan Sunan an-Nasa-i terdapat sebuah hadits dari Abu Hurairah ra-dhiyallaahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Janganlah kalian menjadikan rumah kalian sebagai kuburan. Sesungguhnya rumah yang dibacakan di dalamnya surat al-Baqarah tidak akan dimasuki syaitan."

At-Tirmidzi mengatakan: "Hadits ini hasan shahih." (1)

Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud ra-dhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Sesungguhnya syaitan lari dari rumah yang didengar di dalamnya surat al-Baqarah."

Hadits riwayat an-Nasa-i dalam 'Amalul Yaum wal Lailah. (2)

Diriwayatkan juga oleh al-Hakim dalam Mustadraknya, kemudian ia berkata: "Sanadnya shahih dan tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim." (3)

Ad-Darimi meriwayatkan di dalam Musnadnya dari 'Abdullah bin Mas'ud ra-dhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Tidaklah sebuah rumah dibacakan di dalamnya surat al-Baqarah, melainkan syaitan akan keluar darinya sambil terkentut-kentut."

Dia juga meriwayatkan dari jalan asy-Sya'bi, ia mengatakan bahwa 'Abdullah bin Mas'ud ra-dhiyallaahu 'anhu berkata: "Barangsiapa membaca sepuluh ayat dari surat al-Baqarah pada satu malam, maka syaitan tidak akan masuk ke rumahnya pada malam itu. Yaitu empat ayat pada awal surat al-Baqarah, ayat Kursi dan dua ayat setelahnya, serta tiga ayat terakhir surat al-Baqarah."

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa pada hari itu dia dan keluarganya tidak akan didekati syaitan, dan tidak ada sesuatu yang dibencinya. Dan tidaklah ayat-ayat itu dibacakan kepada orang gila (kesurupan) melainkan ia akan sadar (sembuh). (4)

Diriwayatkan dari Sahl bin Sa'ad ra-dhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Setiap sesuatu memiliki puncak. Dan puncak al-Qur-an adalah al-Baqarah. Barangsiapa membacanya di rumahnya pada satu malam niscaya syaitan tidak akan memasukinya selama tiga malam. Dan barangsiapa membacanya di rumahnya pada suatu siang, maka syaitan tidak akan memasukinya selama tiga hari.'"

Diriwayatkan oleh Abul Qasim ath-Thabrani, Abu Hatim, Ibnu Hibban dalam Shahiihnya dan Ibnu Mardawaih. (5)

At-Tirmidzi, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairah ra-dhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah mengirim utusan yang terdiri dari beberapa orang. Kemudian beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam memeriksa. Selanjutnya beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam menguji hafalan al-Qur-an mereka masing-masing. Lalu beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam menghampiri orang yang usianya paling muda seraya bersabda: 'Surat apa yang engkau hafal?' Orang itu menjawab: 'Aku hafal surat ini dan ini serta surat al-Baqarah.' Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Apakah engkau hafal surat al-Baqarah?' Orang itu menjawab: 'Ya, aku hafal.' Setelah itu beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Berangkatlah dan engkau adalah pemimpin bagi mereka.' Kemudian salah seorang yang terpandang di antara mereka berkata: 'Demi Allah, sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku untuk mempelajari surat al-Baqarah melainkan karena aku takut tidak dapat mengamalkannya.' Maka beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

'Pelajarilah al-Qur-an dan bacalah. Sesungguhnya perumpamaan al-Qur-an bagi orang yang mempelajarinya lalu membaca dan mengamalkannya adalah seperti kantong kulit berisi minyak kesturi yang (karena tutupnya terbuka) aromanya menyebar ke seluruh penjuru. Sedangkan perumpamaan orang yang mempelajarinya, lalu tidur (tidak mengamalkannya), padahal al-Qur-an ada dalam dirinya, laksana kantong kulit (yang tutupnya) terikat padahal di dalamnya terdapat minyak kesturi.'"

Lafazh ini berdasarkan riwayat at-Tirmidzi. Kemudian ia berkata: "Hadits ini hasan." Kemudian ia meriwayatkannya secara mursal, wallaahu a'lam. (6)

Al-Bukhari meriwayatkan dari Usaid bin Hudhair ra-dhiyallaahu 'anhu, ia mengatakan bahwa pada suatu malam ia membaca surat al-Baqarah -sementara kudanya ditambatkan di sisinya-. Tiba-tiba kuda itu berputar-putar. Ketika Usaid berhenti membaca, maka kuda itu pun kembali tenang. Setelah itu ia membacanya lagi, dan kuda itu pun berputar-putar. Tatkala ia berhenti membacanya, kuda itu pun terdiam. Setelah itu ia membacanya lagi, maka kudanya itu kembali berputar-putar. Maka ia pun berlalu, sedang puteranya, Yahya, berada di dekat kuda tersebut. Karena ia merasa kasihan dan khawatir kuda itu akan menerjangnya, maka ia mengambil anaknya seraya menengadahkan kepalanya ke langit hingga ia tidak melihatnya.

Di pagi harinya, ia menceritakan peristiwa itu kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam. Maka beliau bersabda: "Wahai putera Hudhair, teruslah membacanya." Ia pun menjawab: "Wahai Rasulullah, aku merasa kasihan kepada Yahya, khawatir terinjak karena ia berada di dekat kuda itu. Kemudian aku mengangkat kepalaku dan kembali melihat ke arahnya. Setelah itu aku menengadahkan kepalaku ke langit, tiba-tiba aku melihat sesuatu seperti bayangan yang mirip lampu-lampu. Setelah itu aku keluar rumah hingga aku tidak melihatnya lagi." Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tahukah engkau, apa itu?" "Tidak," jawabnya. Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Itu adalah Malaikat yang mendekat karena suara bacaanmu. Seandainya engkau terus membacanya, niscaya pada pagi hari orang-orang akan dapat melihat Malaikat itu tanpa terhalang." (7)

Demikianlah yang diriwayatkan oleh Imam yang alim Abu 'Ubaid al-Qasim bin Sallam dalam kitab Fadhaa-ilul Qur-aan. Wallaahu a'lam.

Keutamaan membacanya bersama surat Ali 'Imran


Imam Ahmad meriwayatkan, telah memberitahukan kepada kami Abu Nu'aim, telah memberitahukan kepada kami Bisyr bin Muhajir, telah memberitahukan kepadaku 'Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, ia berkata: "Aku pernah duduk bersama Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, maka aku mendengar beliau bersabda:

'Pelajarilah surat al-Baqarah, karena sesungguhnya membacanya adalah berkah dan meninggalkannya adalah suatu penyesalan. Dan tukang sihir tidak akan sanggup menjangkaunya.'"

Ia berkata: "Kemudian beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam diam sejenak, lalu bersabda:

'Pelajarilah surat al-Baqarah dan Ali 'Imran, karena sesungguhnya keduanya adalah cahaya yang akan menaungi pembacanya pada hari Kiamat seakan-akan keduanya seperti dua tumpukan awan atau bagaikan dua bentuk payung atau bagaikan dua kelompok burung yang mengembangkan sayapnya. Sesungguhnya al-Qur-an akan mendatangi orang-orang yang gemar membacanya pada hari Kiamat ketika kuburnya terbelah. Dia datang seperti seorang lelaki yang kurus dan pucat. Laki-laki itu bertanya kepadanya: 'Kenalkah engkau denganku?' Ia menjawab: 'Aku tidak mengenalmu.' Laki-laki itu berkata: 'Aku adalah temanmu, al-Qur-an, yang telah membuatmu dahaga pada hari yang terik dan membuatmu tidak tidur di malam hari. Sesungguhnya setiap pedagang berada di belakang barang dagangannya, dan engkau pada hari ini berada di belakang seluruh perdagangan. Lalu diberikanlah kerajaan dengan tangan kanannya dan kekekalan dengan tangan kirinya. Lalu diletakkan mahkota kehormatan di atas kepalanya. Lalu kedua orang tuanya diberi sepasang perhiasan yang tidak pernah dibuat oleh ahli dunia. Keduanya berkata: 'Mengapa aku diberi pakaian ini?' Lalu dikatakanlah: 'Karena anakmu rajin membaca al-Qur-an.' Kemudian dikatakan: 'Baca dan naiklah di anak tangga Surga dan kamar-kamarnya.' Dan ia terus naik selama ia terus membaca. Baik ia membacanya dengan cepat maupun dengan tartil.'" (8)

Ibnu Majah meriwayatkan dari hadits Bisyr bin al-Muhajir sebagian darinya. (9) Sanad hadits ini hasan menurut syarat Muslim.

Sebagian hadits ini memiliki beberapa penguat, di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Umamah al-Bahili ra-dhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

'Bacalah al-Qur-an, karena sesungguhnya ia akan memberinya syafa'at bagi pembacanya, pada hari Kiamat kelak. Dan bacalah az-zahraawain, yaitu surat al-Baqarah dan Ali 'Imran, karena kedua surat itu akan datang pada hari Kiamat, seolah-olah keduanya bagaikan dua tumpukan awan atau bagaikan dua bentuk payung yang menaungi atau bagaikan dua kelompok burung yang mengembangkan sayapnya. Keduanya akan berdalih untuk membela pembacanya pada hari Kiamat.'

Kemudian beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

'Bacalah al-Baqarah, karena membacanya akan mendatangkan berkah dan meninggalkannya berarti penyesalan. Dan para tukang sihir tidak akan sanggup menjangkaunya (pembacanya).'" (10)

Hadits ini diriwayatkan juga oleh Imam Muslim dalam kitab ash-Shalaah. (11)

Az-zahraawain adalah dua cahaya. Dan al-ghayaayah adalah sesuatu yang menaungi di atasmu. Al-firqu adalah potongan sesuatu. Ash-shawaaff artinya berbaris dan al-bathalah adalah tukang sihir. Makna laa yastathii'uhaa adalah mereka tidak mungkin menghafalnya. Dan dikatakan pula bahwa maknanya, tukang sihir tidak akan mampu menghembuskan sihir kepada pembacanya. Wallaahu a'lam.

Di antara hadits penguat lainnya adalah hadits an-Nawwas bin Sam'an ra-dhiyallaahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad darinya, ia berkata: "Aku mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

'Al-Qur-an akan didatangkan pada hari Kiamat bersama orang yang mengamalkannya. Surat al-Baqarah dan Ali 'Imran mendahului mereka di depan.'

Dan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memberikan tiga permisalan bagi keduanya yang tidak pernah aku lupa setelahnya. Beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

'Keduanya seperti dua tumpukan awan, atau dua naungan hitam yang antara keduanya dipisahkan oleh cahaya atau seperti dua kelompok burung yang mengembangkan sayapnya. Keduanya akan berhujjah untuk membela pembacanya.'" (12)

Dan diriwayatkan oleh Muslim (13), serta at-Tirmidzi dan ia mengatakan: "Hadits ini hasan gharib." (14)

Surat al-Baqarah adalah surat Madaniyyah tanpa ada perselisihan


(Pasal) Tidak diperselisihkan lagi bahwa semua ayat dalam surat al-Baqarah turun di Madinah. Surat ini termasuk surat yang pertama kali turun di Madinah. Hanya saja ada yang berpendapat bahwa firman Allah: "Dan peliharalah dirimu dari (adzab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah." (QS. Al-Baqarah: 281), adalah ayat yang terakhir kali turun. Kemungkinan memang ayat ini termasuk ayat yang terakhir diturunkan. Demikian pula ayat riba termasuk ayat yang terakhir diturunkan.

Khalid bin Ma'dan menamakan surat al-Baqarah dengan sebutan Fusthaathul Qur-aan (tendanya al-Qur-an).

Sebagian 'ulama menyatakan bahwa surat al-Baqarah mengandung seribu kabar berita, seribu perintah dan seribu larangan.

Orang-orang yang menghitungnya mengatakan bahwa surat al-Baqarah ini terdiri dari 287 ayat, 6221 kata dan 25.000 huruf. Wallaahu a'lam.

Ibnu Juraij meriwayatkan dari 'Atha', dari Ibnu 'Abbas, ia berkata: "Surat al-Baqarah turun di Madinah." (15)

Khashif meriwayatkan dari Mujahid, dari 'Abdullah bin Jubair, ia berkata: "Surat al-Baqarah turun di Madinah." (16)

Hal yang sama dikatakan oleh lebih dari satu orang imam, ulama, dan ahli tafsir. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini.

Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari hadits Syu'bah dari 'Uqail bin Thalhah dari 'Utbah bin Martsad bahwa ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam melihat kelambanan para Shahabat beliau, beliau bersabda: "Hai orang-orang yang suka membaca surat al-Baqarah." Aku rasa ini terjadi pada peperangan Hunain pada saat musim muslimin lari ke belakang. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memerintahkan al-'Abbas ra-dhiyallaahu 'anhu untuk meneriakkan: "Hai orang-orang yang berbai'at di bawah pohon!" Yaitu orang-orang yang ikut serta dalam bai'at Ridhwan. Dalam riwayat lain: "Hai orang-orang yang suka membaca surat al-Baqarah." Yaitu untuk memotivasi mereka. Sehingga mereka berdatangan dari segala penjuru. Demikian pula pada peperangan Yamamah ketika menghadapi tentara Musailamah al-Kadzdzab. Para Shahabat ra-dhiyallaahu 'anhum lari berhamburan ketika melihat banyaknya pasukan Bani Hanifah. Maka kaum Muhajirin dan Anshar berseru: "Hai orang-orang yang membaca surat al-Baqarah." Hingga akhirnya Allah memberi mereka kemenangan, semoga Allah meridhai mereka semua." (17)

===

(1) Ahmad 2/284, Muslim 1/307, Tuhfatul Ahwadzi 8/180, dan an-Nasa-i dalam al-Kubra 5/13. Shahih: Muslim no. 780 dengan perbedaan lafazh, at-Tirmidzi no. 2877. Lihat pula Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib no. 1458.

(2) An-Nasa-i dalam al-Kubra 6/240.

(3) Al-Hakim 2/260.

(4) Ad-Darimi 2/322.

(5) Ath-Thabrani 6/163 dan Ibnu Hibban 2/78. Lihat Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib no. 1462.

(6) Tuhfatul Ahwadzi 8/186, an-Nasa-i dalam al-Kubra 5/227 dan Ibnu Majah 1/78. Dha'if: At-Tirmidzi no. 2867, Ibnu Majah no. 217, dan lihat Dha'iif at-Targhiib wat Tarhiib no. 864.

(7) Fat-hul Baari 8/680. Al-Bukhari no. 5018, Muslim no. 796.

(8) Ahmad 5/352. Shahih: Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib no. 1466.

(9) Ibnu Majah 2/1242.

(10) Ahmad 5/249. Shahih: Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib no. 1460.

(11) Muslim 1/553. no. 804(252).

(12) Ahmad 4/183. Shahih: Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib no. 1465.

(13) Muslim 1/554. no. 805.

(14) Tuhfatul Ahwadzi 8/191. Shahih: At-Tirmidzi no. 2883. Lihat Shahiih at-Targhiib wat Tarhiib no. 1465.

(15) Ad-Durrul Mantsuur 1/47.

(16) Ad-Durrul Mantsuur 1/47.

(17) Al-Majma' 6/180.

===

Maraji'/ sumber: http://baitulkahfitangerang.blogspot.co.id/search/label/shahih%20tafsir%20ibnu%20katsir%20jilid%201

===

Baca juga:

Tafsir Ibnu Katsir: Surat al-Faatihah

Demikianlah Tafsir al Quran Ibnu Katsir surat al-Baqarah secara umum.

Tafsir Ibnu Katsir Bahasa Indonesia Surat al-Fatihah Ayat 7 | Tafsir Ibnu Katsir Indonesia

tafsir ibnu katsir bahasa indonesia
Tafsir Ibnu Katsir Bahasa Indonesia. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. Surat al-Faatihah (7).

Al-Faatihah, Ayat 7

Shiraa-thal la-dziina an'amta 'alaihim ghairil magh-dhuubi 'alaihim wa ladh-dhaalliin
(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. 1: 7)

Telah disebutkan dalam hadits sebelumnya bahwa apabila seorang hamba mengucapkan "ihdinash shiraa-thal mustaqiim" hingga akhir ayat, maka Allah berfirman: "Ini untuk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta."

Firman Allah: "Shiraa-thal la-dziina an'amta 'alaihim" Yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, adalah tafsir dari firman-Nya "shiraa-thal mustaqiim" (jalan yang lurus), dan merupakan badal menurut ahli nahwu dan boleh juga sebagai 'athaf bayan. Wallaahu a'lam.

Orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah 'Azza wa Jalla itu adalah mereka yang tersebut dalam surat an-Nisaa', Dia berfirman:

"Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shalih. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. Semua itu adalah karunia dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui." (QS. An-Nisaa': 69-70)

Dan firman-Nya, Ghairil magh-dhuubi 'alaihim wa ladh-dhaalliin "Bukan jalan mereka yang dimurkai dan bukan pula jalan mereka yang sesat." Maknanya, tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus, yakni jalan orang-orang yang telah Engkau berikan nikmat kepada mereka. Yaitu mereka yang memperoleh hidayah, istiqamah, dan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, bukan jalan orang-orang yang mendapat murka, yang kehendak mereka telah rusak, hingga meskipun mereka mengetahui kebenaran, namun mereka menyimpang darinya. Bukan pula jalan orang-orang yang sesat, yaitu mereka yang tidak memiliki ilmu, sehingga mereka berada dalam kesesatan serta tidak mendapatkan jalan menuju kebenaran.

Pembicaraan di sini dipertegas dengan kata "laa" (bukan), untuk menunjukkan bahwa di sini terdapat dua jalan yang rusak. Yaitu jalan orang-orang yahudi dan jalan orang-orang nashrani. Juga untuk membedakan antara kedua jalan itu, agar setiap orang menjauhkan diri darinya.

Jalan orang-orang yang beriman itu mencakup pengetahuan tentang kebenaran dan pengamalannya. Sementara orang-orang yahudi tidak memiliki amal. Adapun orang-orang nashrani tidak memiliki ilmu (agama). Oleh karena itu kemurkaan untuk orang-orang yahudi dan kesesatan untuk orang-orang nashrani. Karena orang yang berilmu namun tidak mengamalkannya maka dia berhak mendapatkan kemurkaan, berbeda dengan orang yang tidak memiliki ilmu.

Sedangkan orang-orang nashrani, ketika mereka hendak melakukan sesuatu (tujuan mulia), mereka tidak memperoleh petunjuk kepada jalannya. Karena mereka tidak menempuhnya melalui jalan yang semestinya, yaitu mengikuti kebenaran. Maka masing-masing dari mereka sesat dan mendapatkan murka. Sifat kaum yahudi yang paling khusus adalah mendapat kemurkaan, sebagaimana firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala tentang mereka: "Yaitu orang-orang yang dikutuk dan dimurkai Allah." (QS. Al-Maa-idah: 60)

Sedangkan sifat kaum nashrani yang paling khusus adalah kesesatan, sebagaimana firman Allah tentang diri mereka: "Orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Nabi Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus." (QS. Al-Maa-idah: 77)

Masalah ini banyak disebutkan dalam hadits serta atsar, dan hal itu sudah cukup jelas.

Imam Ahmad meriwayatkan dari 'Adi bin Hatim ra-dhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Datanglah pasukan berkuda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, lalu mereka menawan bibiku dan beberapa orang lainnya. Ketika pasukan membawa mereka ke hadapan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, mereka berbaris di hadapan beliau. Bibiku berkata, 'Ya Rasulullah, utusan telah menjauh dan anak telah terputus. Sementara aku hanyalah wanita tua. Aku tidak mampu mengerjakan apa-apa. Lepaskanlah aku, semoga Allah memberkahimu.' Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bertanya kepadanya: 'Siapakah utusanmu?' Ia menjawab: 'Adi bin Hatim!' Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Orang yang melarikan diri dari Allah dan Rasul-Nya?' Bibiku berkata: 'Bebaskanlah aku!' Ketika Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam kembali, seorang laki-laki yang berada di samping beliau sepertinya -sepertinya orang itu adalah 'Ali- berkata: 'Mintalah terus kepada beliau.' Bibiku berkata: 'Aku pun terus memintanya kepada beliau.' Akhirnya beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam membebaskannya. Lalu bibiku menemuiku, ia berkata: 'Sungguh engkau telah melakukan satu perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh ayahmu! Sungguh telah datang kepada beliau si fulan dan ia mendapat bagian dari beliau, lalu datang di fulan lainnya dan ia pun mendapat bagian dari beliau.' Maka aku pun mendatangi beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam, ternyata di sisi beliau ada seorang wanita dan beberapa anak kecil. Ia menyebutkan keakraban mereka dengan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam." 'Adi berkata: "Barulah aku tahu bahwa beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam bukanlah seperti raja kisra atau kaisar. Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Hai 'Adi, apa yang menyebabkanmu lari ketika dikatakan 'Laa ilaaha illallaah'? Bukankah tidak ada ilah selain Allah? Apa yang membuatmu lari ketika dikatakan: 'Allaahu Akbar'. Adakah sesuatu yang lebih besar selain Allah 'Azza wa Jalla?'"

'Adi melanjutkan: "Maka aku pun masuk Islam dan aku lihat wajah beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam gembira. Beliau bersabda:

'Sesungguhnya orang yang dimurkai adalah yahudi dan orang yang sesat adalah nashrani.'

Kemudian ia menyebutkan kelanjutan hadits tersebut." Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan ia berkata: "Hasan gharib." (68)

Dalam kitab sirah, diriwayatkan dari Zaid bin 'Amr bin Nufail bahwa ketika ia keluar bersama serombongan rekan-rekannya ke negeri Syam untuk mencari agama yang benar, orang-orang yahudi berkata kepada mereka: "Kalian tidak akan bisa masuk ke dalam agama kami sehingga kalian mengambil bagian kalian berupa kemarahan Allah."

Zaid berkata: "Justru kami ingin lari dari kemarahan Allah."

Orang-orang nashrani berkata kepadanya: "Kalian tidak akan bisa masuk ke dalam agama kami sehingga kalian mengambil bagian kalian berupa kemurkaan Allah."

Zaid berkata: "Aku tidak sanggup." Maka ia pun tetap berada di atas fitrahnya, ia menjauhi penyembahan berhala dan agama kaum musyrikin. Ia tidak masuk ke dalam agama yahudi maupun agama nashrani. Adapun rekan-rekannya masuk agama nashrani dan menjadi penganutnya. Karena mereka mendapati agama nashrani lebih dekat kepada kebenaran daripada agama yahudi ketika itu. Di antara mereka adalah Waraqah bin Naufal, hingga akhirnya Allah memberinya hidayah mengikuti Nabi-Nya shallallaahu 'alaihi wa sallam ketika Allah mengutusnya. Ia beriman kepada wahyu yang sampai kepadanya.

Tafsir Ibnu Katsir Bahasa Indonesia. Kandungan Surat al-Faatihah.


(Pasal) Surat yang mulia yang terdiri dari tujuh ayat ini mengandung pujian, pemuliaan, dan sanjungan bagi Allah Sub-haanahu wa Ta'aala dengan menyebut Nama-nama-Nya yang Husna (baik) dan sifat-sifat-Nya yang 'Ulya (tinggi). Juga mencakup tempat kembali manusia, yaitu hari Pembalasan. Selain itu, di dalamnya berisi bimbingan kepada hamba-hamba-Nya agar mereka memohon dan tunduk kepada-Nya, serta melepaskan upaya dan kekuatan diri mereka untuk selanjutnya dengan tulus ikhlas mengabdi kepada-Nya, mengesakan-Nya dan menyucikan-Nya dari sekutu atau tandingan. Juga berisi bimbingan agar mereka memohon petunjuk kepada-Nya menuju jalan yang lurus, yaitu agama yang benar serta menetapkan mereka di atas jalan tersebut. Sehingga ditetapkan bagi mereka untuk dapat menyeberangi jalan yang nyata pada hari Kiamat kelak menuju Surga yang penuh dengan kenikmatan, di sisi para Nabi, shiddiiqiin, syuhadaa' dan orang-orang shalih.

Surat ini juga mengandung targhib (anjuran) untuk mengerjakan amal shalih agar mereka dapat bergabung dengan orang-orang yang beramal shalih pada hari Kiamat kelak. Serta memperingatkan agar mereka tidak menempuh jalan kebathilan, agar mereka tidak digiring bersama orang-orang yang menempuh jalan tersebut pada hari Kiamat, yaitu mereka yang dimurkai dan tersesat.

Menyandarkan Nikmat Kepada Allah dan Tidak Menyandarkan Penyesatan Kepada-Nya Serta Bantahan Terhadap Qadariyyah


Betapa bagusnya penyandaran nikmat kepada Allah dalam firman-Nya: "Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka," dan penghapusan fa'il (pelaku) pada kata murka dalam firman-Nya: "Bukan jalan orang-orang yang mendapat murka," meskipun dalam hal ini fa'il yang sebenarnya adalah Allah, sebagaimana Dia berfirman:

"Tidaklah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman." (QS. Al-Mujaadilah: 14)

Demikian juga penyandaran kesesatan kepada pelakunya, meskipun kesesatannya itu telah Allah takdirkan, sebagaimana Dia berfirman: "Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka Dialah yang mendapat petunjuk, dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapat seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya." (QS. Al-Kahfi: 17)

Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman:

"Barangsiapa yang Allah sesatkan, maka baginya tidak ada orang yang dapat memberi petunjuk. Dan Allah membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan." (QS. Al-A'raaf: 186)

Serta ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa hanya Allahlah yang memberikan hidayah maupun kesesatan. Tidak seperti ucapan kelompok Qadariyyah dan orang-orang yang mengikuti mereka bahwasanya diri hamba sendirilah yang memilih dan melakukan hal itu (hidayah dan kesesatan). Mereka berhujjah atas bid'ah mereka itu dengan ayat-ayat al-Qur-an yang mutasyaabih (maknanya belum jelas), dan meninggalkan makna yang jelas bertentangan dengan faham mereka. Demikianlah keadaan orang-orang yang sesat dan menyimpang itu. Telah disebutkan dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Apabila kalian menyaksikan orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyaabihaat, maka mereka itulah yang dimaksud oleh Allah, maka jauhilah mereka." (69)

Yakni yang maksud dalam firman Allah Ta'ala:

"Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya." (QS. Ali 'Imran: 7)

Dan al-hamdulillaah, tidak ada satu pun hujjah yang shahih dalam al-Qur-an bagi para ahli bid'ah, karena al-Qur-an diturunkan untuk menjelaskan antara yang haq dan yang bathil dan membedakan antara petunjuk dan kesesatan. Di dalamnya tidak ada pertentangan dan perbedaan, karena al-Qur-an diturunkan dari sisi Allah Yang Mahabijaksana lagi Mahaterpuji.

Mengucapkan "Aamiin" Setelah Membaca al-Faatihah


(Pasal) Disunnahkan bagi seseorang untuk mengucapkan 'aamiin' setelah membaca surat al-Faatihah seperti halnya "Yaasiin". Boleh juga mengucapkan 'aamiin' dengan alif dibaca pendek, yang artinya: "Ya Allah, kabulkanlah." Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi dari Wa-il bin Hujr ra-dhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam membaca "Ghairil magh-dhuubi 'alaihim wa ladh-dhaalliin", lalu beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam mengucapkan 'aamiin', dengan memanjangkan suaranya." (70)

Sedangkan dalam riwayat Abu Dawud disebutkan: "Dan beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam mengangkat (mengeraskan) suaranya." At-Tirmidzi mengatakan: "Hadits ini hasan." Hadits ini juga diriwayatkan dari 'Ali, Ibnu Mas'ud dan lain-lain ra-dhiyallaahu 'anhum. (71)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra-dhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Apabila Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam membaca "Ghairil magh-dhuubi 'alaihim wa ladh-dhaalliin", maka beliau mengucapkan 'aamiin'. Sehingga terdengar oleh orang-orang yang berada di belakang beliau pada shaff pertama." (72)

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah. Ibnu Majah menambahkan pada hadits tersebut dengan kalimat: "Sehingga masjid bergetar karenanya." (73) Hadits ini juga diriwayatkan oleh ad-Daraquthni. Ia mengatakan: "Sanad hadits ini hasan." (74)

Dan diriwayatkan dari Bilal ra-dhiyallaahu 'anhu, bahwa ia berkata: "Wahai Rasulullah, jangan dahului aku mengucapkan 'aamiin.'" Diriwayatkan oleh Abu Dawud. (75)

Abu Nashr al-Qusyairi menukil dari al-Hasan dan Ja'far ash-Shadiq bahwa keduanya mentasydid huruf mim pada 'aamiin' (menjadi aammiin) sebagaimana dalam firman Allah (surat al-Maa-idah ayat 2).

Sahabat-sahabat kami dan juga yang lainnya mengatakan: "Disunnahkan juga mengucapkan 'aamiin' bagi orang yang membacanya di luar shalat. Dan lebih ditekankan bagi orang yang mengerjakan shalat, baik ketika shalat sendirian, maupun sebagai imam ataupun makmum, serta dalam keadaan bagaimanapun. Berdasarkan hadits dalam Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim dari Abu Hurairah ra-dhiyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Jika seorang imam mengucapkan 'aamiin', maka ucapkanlah 'aamiin'. Sesungguhnya barangsiapa yang ucapan 'aamiin'nya bertepatan dengan ucapan 'aamiin' Malaikat, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (76)

Dalam riwayat Muslim, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Jika salah seorang dari kalian mengucapkan 'aamiin' dalam shalat, sementara Malaikat di langit juga mengucapkan 'aamiin', lalu ucapan aamiin keduanya bertepatan, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu." (77)

Ada yang mengatakan bahwa maknanya adalah waktu ucapan 'aamiin'nya bersamaan dengan 'aamiin' yang diucapkan oleh Malaikat. Ada juga yang berpendapat bahwa maksudnya adalah bersamaan dalam pengabulannya. Dan ada yang berpendapat, bahwa kesamaan itu dalam hal keikhlasannya.

Dalam Shahiih Muslim diriwayatkan sebuah hadits marfu' dari Abu Musa ra-dhiyallaahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Apabila imam telah membaca ghairil magh-dhuubi 'alaihin wa ladh-dhaalliin, maka ucapkanlah 'aamiin', niscaya Allah akan mengabulkan permohonan kalian." (78)

At-Tirmidzi mengatakan bahwa makna 'aamiin' adalah: "Jangan sia-siakan harapan kami."

Dan kebanyakan ulama mengatakan bahwa maknanya: "Ya Allah, perkenankanlah untuk kami."

===

(68) Ahmad 4/378 dan Tuhfatul Ahwadzi 8/289. Shahiih: at-Tirmidzi no. 2953. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam kitabnya Shahiihul Jaami' no. 8202.

(69) Fat-hul Baari 8/57. Al-Bukhari no. 4547, Muslim no. 2665.

(70) Ahmad 4/315, Abu Dawud 1/574, Tuhfatul Ahwadzi 2/65. Shahih: Abu Dawud no. 932, at-Tirmidzi no. 248. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam kitabnya Shahiih Sunan Abi Dawud no. 824.

(71) Tuhfatul Ahwadzi 2/67. Shahih: Abu Dawud no. 932, at-Tirmidzi no. 248, hadits semisal diriwayatkan oleh an-Nasa-i no. 789, Ibnu Majah no. 855.

(72) Abu Dawud 1/575. Dha'if: Abu Dawud no. 934. Didha'ifkan oleh Syaikh al-Albani dalam Dha'iif Abi Dawud no. 197.

(73) Abu Dawud 1/575 dan Ibnu Majah 1/279. Ibnu Majah no. 853. Didha'ifkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Dha'iif Ibni Majah no. 182.

(74) Ad-Daraquthni 1/335.

(75) Abu Dawud 1/576. Dha'if: Abu Dawud no. 937. Lihat Dha'iif Sunan Abi Dawud no. 198.

(76) Fat-hul Baari 11/203 dan Muslim 1/307. Al-Bukhari no. 780, Muslim no. 410(70).

(77) Muslim 1/307. Muslim no. 410 (74, 75).

(78) Muslim 1/303.

===

Maraji'/ sumber: http://baitulkahfitangerang.blogspot.co.id/search/label/shahih%20tafsir%20ibnu%20katsir%20jilid%201

===

Baca juga:

Tafsir Ibnu Katsir: Surat al-Faatihah

Demikianlah tafsir Ibnu Katsir bahasa Indonesia surat al-Fatihah ayat 7.

Tafsir Ibnu Katsir Lengkap: Surat al-Fatihah Ayat 6 | Tafsir Ibnu Katsir Indonesia

tafsir ibnu katsir lengkap
Tafsir Ibnu Katsir Lengkap. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. Surat al-Faatihah (6).

Al-Faatihah, Ayat 6

"Ihdi-nash shiraa-thal mustaqiim"
Tunjukanlah kepada kami jalan yang lurus. (QS. 1: 6)

Tafsir Ibnu Katsir Lengkap. Rahasia Diakhirkannya Do'a Setelah Pujian dan Penyebutan Sifat


Setelah menyampaikan pujian kepada Allah Sub-haanahu wa Ta'aala dan menyatakan hanya kepada-Nya permohonan ditujukan, maka layaklah jika hal itu diiringi dengan permintaan. Sebagaimana firman-Nya (dalam hadits Qudsi): "Setengahnya untuk-Ku dan setengah lainnya untuk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta."

Hal itu merupakan keadaan yang sangat sempurna bagi seseorang yang mengajukan permintaan. Pertama, ia memuji Rabb yang akan ia mintai dan kemudian memohon keperluan dirinya sendiri dan juga saudaranya dari orang-orang yang beriman, melalui ucapannya: "Ihdinash Shiraa-thal mustaqiim (Tunjukanlah kepada kami jalan yang lurus)." Karena hal itu lebih dekat kepada pengabulan dan dipenuhinya apa yang ia butuhkan. Karena itulah Allah Sub-haanahu wa Ta'aala membimbing kita untuk senantiasa melakukannya, karena hal itu lebih sempurna.

Permintaan itu bisa diajukan dengan cara memberitahukan keadaan dan kebutuhan orang yang mengajukan permintaan tersebut. Sebagaimana yang diucapkan Musa 'alaihis salaam:

"Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku." (QS. Al-Qashash: 24)

Permintaan itu bisa dimulai dengan menyebutkan sifat-sifat Rabb yang dia mintai, seperti ucapan Dzun Nuun (Nabi Yunus 'alaihis salaam): "Tiada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Engkau. Mahasuci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim." (QS. Al-Anbiyaa': 87)

Tetapi terkadang permintaan itu cukup hanya dengan memuji-Nya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh seorang penya'ir:

Apakah aku harus menyebutkan kebutuhanku, ataukah cukup bagiku rasa malu-Mu.
Sesungguhnya rasa malu merupakan adat kebiasaan-Mu.

Jika suatu hari seseorang menyampaikan pujian kepada-Mu, niscaya pujian itu mencukupi orang itu karena telah mengemukakannya.

Makna Hidayah


Kata hidayah dalam ayat ini berarti bimbingan dari taufiq. Terkadang kata hidayah itu muta'addi (membutuhkan obyek) tanpa huruf penyambung. Sebagaimana firman-Nya di sini: "Ihdinash Shiraa-thal mustaqiim (Tunjukanlah kepada kami jalan yang lurus."

Dalam ayat tersebut terkandung makna, berikanlah ilham kepada kami, atau berikanlah taufiq kepada kami, berikanlah rizki atau anugerah kepada kami.

Dan juga firman-Nya: "Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan." (QS. Al-Balad: 10). Artinya, kami telah menjelaskan kepadanya jalan kebaikan dan jalan keburukan.

Selain itu kata hidayah juga bisa muta'addi dengan memakai kata "ilaa", sebagaimana firman Allah Sub-haanahu wa Ta'aala: "Allah telah memilihnya dan menujukinya kepada jalan yang lurus." (QS. An-Nahl: 121)

Dan juga firman-Nya: "Maka tunjukkanlah kepada mereka jalan ke Neraka." (QS. Ash-Shaaffaat: 23)

Makna hidayah dalam ayat-ayat di atas adalah bimbingan dan petunjuk. Demikian juga firman-Nya: "Dan sesungguhnya Kami benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus." (QS. Asy-Syuura: 52)

Terkadang kata hidayah muta'addi dengan memakai huruf "lam" sebagaimana ucapan para penghuni Surga: "Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (Jannah) ini." (QS. Al-A'raaf: 43). Artinya, Allah memberikan taufiq kepada kami untuk memperoleh Surga ini dan Dia menjadikan kami sebagai penghuninya.

Makna ash-Shiraa-thal Mustaqiim (Jalan yang Lurus)


Sedangkan mengenai ash-shiraa-thal mustaqiim (jalan yang lurus), Imam Abu Ja'far bin Jarir mengatakan: "Seluruh ahli tafsir sepakat bahwa maksud ash-shiraa-thal mustaqiim adalah jalan yang terang dan lurus, tidak ada kebengkokan padanya. Demikian yang dikenal dalam bahasa seluruh bangsa Arab. Di antaranya adalah perkataan Jarir bin 'Athiyyah al-Khathfi:

'Amirul Mukminin di atas jalan yang lurus
Manakala persimpangan-persimpangan mulai bengkok.'" (66)

Ibnu Jarir menyambung penuturannya:

"Pendukung-pendukung bagi makna ini sangat banyak sehingga tidak bisa disebutkan satu persatu. Kemudian, orang Arab menggunakan kata shirath untuk makna-makna lain, di antaranya adalah setiap ucapan, perbuatan atau sifat yang lurus atau bengkok. Disifatkan mustaqim karena kelurusannya dan disebut mu'awwij karena kebengkokannya. Yang dimaksud di sini adalah Islam."

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya dari an-Nawwas bin Sam'an ra-dhiyallaahu 'anhu, dari Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda:

"Allah telah membuat sebuah perumpamaan shiraa-thal mustaqiim (jalan yang lurus), di dua sisi shirath (jalan) terdapat dua pagar. Di pagar tersebut terdapat pintu-pintu yang terbuka. Dan di pintu-pintu itu terdapat tirai-tirai yang terurai. Di depan shirath terdapat seseorang yang berseru: 'Wahai manusia, masuklah kalian semua ke dalam shirath ini dan janganlah berbelok.' Dan di atas shirath terdapat penyeru yang akan berseru, apabila ada seorang manusia yang ingin membuka pintu-pintu tersebut, penyeru di atas shirath berkata: 'Celaka (hati-hatilah) kamu, janganlah engkau membukanya. Jika engkau membukanya, niscaya engkau akan terperosok masuk ke dalamnya.' Shirath itu adalah Islam. Pagar-pagar itu adalah batasan-batasan Allah. Pintu-pintu yang terbuka itu adalah perkara-perkara yang diharamkan Allah. Penyeru di depan pintu shirath adalah Kitabullah. Dan penyeru di atas shirath adalah pemberi peringatan dari Allah yang ada di dalam hati setiap Muslim." (67)

Permohonan Hidayah Seorang Mukmin Sedangkan Ia Menyandang Sifat Itu (Hidayah)


Apabila ditanyakan, mengapa seorang mukmin meminta hidayah, baik di waktu mengerjakan shalat maupun di luar shalat, padahal ia sendiri menyandang sifat itu. Apakah yang demikian itu termasuk tah-shiilul haa-shil (usaha memperoleh sesuatu yang sudah ada) atau bukan?

Jawabnya, bukan. Sekiranya mereka tidak perlu memohon hidayah siang dan malam, niscaya Allah Sub-haanahu wa Ta'aala tidak akan membimbingnya untuk melakukan hal itu. Sebab, seorang hamba senantiasa membutuhkan Allah kapan saja dan bagaimanapun keadaannya, agar diberikan keteguhan, kemantapan, penambahan, dan hidayah, karena ia tidak kuasa mendatangkan manfaat ataupun mudharat kepada dirinya sendiri kecuali atas izin Allah Sub-haanahu wa Ta'aala.

Oleh karena itu Allah Sub-haanahu wa Ta'aala selalu membimbingnya untuk senantiasa memohon kepada-Nya setiap saat agar Dia memberikan pertolongan, keteguhan dan taufiq.

Orang yang berbahagia adalah orang yang diberi taufiq oleh Allah untuk senantiasa memohon kepada-Nya. Sebab, Allah telah menjamin akan mengabulkan permohonan seseorang apabila ia memohon kepada-Nya. Terlebih lagi permohonan orang yang berada dalam keadaan terdesak dan sangat membutuhkan bantuan-Nya pada malam dan siang hari. Allah Sub-haanahu wa Ta'aala berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta Kitab yang Allah turunkan sebelumnya." (QS. An-Nisaa': 136)

Allah telah memerintahkan orang-orang yang beriman agar tetap beriman. Dan hal ini bukan termasuk tah-shiilul haa-shil, karena maksudnya adalah memohon ketetapan, kelangsungan dan kesinambungan amal yang dapat membantu mencapai tujuan tersebut. Wallaahu a'lam.

Allah Sub-haanahu wa Ta'aala juga memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mengucapkan do'a:

Rabbanaa laa tuzigh quluubanaa ba'da idz hadaitanaa wa hablanaa milladunka rahmatan innaka antal wahhaab
"(Mereka berdo'a): 'Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia)." (QS. Ali 'Imran: 8)

Dengan demikian, makna firman-Nya: Ihdinash shiraa-thal mustaqiim adalah "Semoga Engkau terus berkenan menunjuki kami di atas jalan yang lurus dan jangan Engkau belokkan kami ke jalan yang lain."

===

(66) Ath-Thabari 1/170.

(67) Ahmad 4/182. Shahiih: Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih at-Targhiib no. 2348.

===

Maraji'/ sumber: http://baitulkahfitangerang.blogspot.co.id/search/label/shahih%20tafsir%20ibnu%20katsir%20jilid%201

===

Baca juga tulisan:

Tafsir Ibnu Katsir: Surat al-Faatihah

Demikianlah tafsir surat al-Fatihah ayat 6 dalam Tafsir Ibnu Katsir Lengkap.

Friday, 8 April 2016

Tafsir Ibnu Katsir Online: Surat al-Fatihah Ayat 5 | Tafsir Ibnu Katsir Indonesia

tafsir ibnu katsir online
Tafsir Ibnu Katsir Online. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. Surat al-Faatihah (5).

Al-Faatihah, Ayat 5

Iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin.

Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan. (QS. 1: 5)

Makna 'Ibadah Menurut Bahasa dan Istilah Syari'at

Menurut bahasa 'ibadah bermakna kerendahan. Dikatakan: "Thariiqun mu'abbad wa ba'iirun mu'abbad (jalan yang diratakan dan unta yang dijinakkan)", yakni ditundukkan.

Adapun menurut istilah syari'at, 'ibadah adalah sebuah ibarat bagi rangkaian cinta, ketundukan dan rasa takut yang sempurna.

Faedah Didahulukannya Maf'ul dan Kemudian Diulangi

Didahulukannya maf'ul (obyek) yaitu kata iyaaka, dan setelah itu diulangi lagi, bertujuan untuk mendapatkan perhatian, dan juga sebagai pembatasan. Artinya: "Kami tidak beribadah kecuali kepada-Mu, dan kami tidak bertawakkal kecuali hanya kepada-Mu."

Inilah puncak kesempurnaan ketaatan. Dan agama ini secara keseluruhan kembali kepada dua makna di atas.

Sebagaimana dikatakan oleh sebagian Salaf, bahwa surat al-Faatihah adalah rahasia al-Qur-an. Dan rahasia al-Faatihah terletak pada ayat:

Iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin.

"Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan."

Penggalan pertama, yakni "hanya kepada-Mu kami beribadah" merupakan pernyataan berlepas diri dari kemusyrikan. Sedangkan pada penggalan kedua, yakni "hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan" merupakan sikap berlepas diri dari upaya dan kekuatan, serta berserah diri kepada Allah 'Azza wa Jalla.

Makna seperti ini tidak hanya terdapat dalam satu ayat al-Qur-an saja, seperti firman-Nya:

"Maka ibadahilah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabbmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan." (QS. Huud: 123)

Juga firman-Nya:

"Katakanlah: 'Dialah Allah Yang Maha Pemurah, kami beriman kepada-Nya dan kepada-Nyalah kami bertawakkal." (QS. Al-Mulk: 29)

Dan juga firman-Nya:

"(Dialah) Rabb masyriq (timur) dan maghrib (barat), tiada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) melainkan Dia, maka ambillah Dia sebagai pelindung." (QS. Al-Muzzammil: 9)

Demikian juga ayat yang mulia ini:

"Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan." (QS. Al-Faatihah: 5)

Dan adanya perubahan bentuk dari ghaib (orang ketiga) kepada mukhaathab (orang kedua/ lawan bicara), yakni dengan huruf kaf, karena ketika seseorang memuji Allah maka seolah-olah dia dekat dan hadir di hadapan Allah Ta'ala. Karena itulah Dia berfirman:

"Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan." (QS. Al-Faatihah: 5)

TAFSIR IBNU KATSIR ONLINE: Al-Faatihah adalah petunjuk agar kita memuji Allah, maka kita wajib membacanya ketika shalat


Ini merupakan dalil bahwasanya awal-awal surat al-Faatihah merupakan pemberitahuan dari Allah 'Azza wa Jalla yang memberikan pujian kepada diri-Nya sendiri dengan berbagai sifat-Nya yang agung, serta petunjuk kepada hamba-hamba-Nya agar memuji-Nya dengan pujian tersebut. Oleh karena itu tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca al-Faatihah di dalamnya, sedangkan ia mampu melakukannya, sebagaimana hadits yang terdapat dalam kitab Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim dari 'Ubaidah bin ash-Shamit radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

'Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab.'" (62)

Dan dalam Shahiih Muslim diriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, beliau bersabda:

"Allah Ta'ala berfirman: 'Aku telah membagi shalat (bacaan al-Faatihah) menjadi dua bagian antara diriku dengan hamba-Ku. Satu bagian untuk diri-Ku dan satu bagian untuk hamba-Ku. Dan bagi hamba-Ku apa yang dia minta.' Jika ia mengucapkan al-hamdulillaahi Rabbil 'aalamiin, maka Allah berfirman: 'Hamba-Ku telah memuji-Ku.' Jika ia mengucapkan ar-Rahmaanir Rahiim, maka Allah berfirman: 'Hamba-Ku telah memuliakan-Ku.'" Dan pernah Abu Hurairah mengatakan: "(Allah berfirman:) 'Hamba-Ku telah berserah diri kepada-Ku.' Jika ia mengucapkan iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin, maka Allah berfirman: 'Ini adalah bagian diri-Ku dan hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.' Dan jika ia mengucapkan ihdinash shiraathal mustaqiim, shiraathal ladziina an'amta 'alaihim ghairil maghdhuubi 'alaihim wa ladhdhaalliin, maka Allah berfirman: 'Ini untuk hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.'" (63)

Tauhid Uluhiyyah

Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma, ia berkata: Iyyaaka na'budu (Hanya kepada-Mu kami beribadah), yakni hanya Engkau semata yang kami esakan, kami takuti, dan kami harapkan wahai Rabb kami, bukan selain-Mu."

Tauhid Rububiyyah

Wa iyaaka nasta'iin (Hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan), untuk mentaati-Mu dan dalam segala urusan kami. (64)

Qatadah berkata: "Iyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin, Dia memerintahkan kepada kalian agar mengikhlaskan ibadah dan meminta pertolongan kepada-Nya dalam segala urusan kalian." (65)

"Iyyaaka na'budu (Hanya kepada-Mu kami beribadah)" didahulukan dari "wa iyyaaka nasta'iin (hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan)", karena ibadah kepada-Nya merupakan tujuan. Dan meminta pertolongan merupakan wasilah (sarana) untuk mendapatkannya. Dan perkara yang didahulukan adalah perkara yang lebih penting, dan seterusnya. Wallaahu a'lam.

Allah menyebut Nabi-Nya sebagai hamba yang menduduki maqam yang paling mulia

Allah telah menyebut Nabi-Nya sebagai hamba-Nya yang menjadi bukti bahwa beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam memiliki kedudukan mulia. Dia berfirman:

"Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya al-Kitab (al-Qur-an)." (QS. Al-Kahfi: 1)

Dia juga berfirman:

"Dan bahwasanya tatkala hamba Allah (Muhammad) berdiri menyeru-Nya (mengerjkan ibadah)." (QS. Al-Jinn: 19)

Dia juga berfirman:

"Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam." (QS. Al-Israa': 1)

Allah menyebutnya (Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Sallam) sebagai seorang hamba ketika menurunkan al-Qur-an kepadanya, ketika beliau berdakwah dan ketika beliau diperjalankan pada malam hari.

Bimbingan kepada ibadah ketika dada terasa sempit

Dan Allah membimbing Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam untuk senantiasa menjalankan ibadah ketika hati merasa sesak akibat pendustaan orang-orang yang menentangnya. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

"Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadami menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan jadilah kamu termasuk orang-orang yang bersujud (shalat), dan ibadahilah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)." (QS. Al-Hijr: 97-99)

===

(62) Fat-hul Baari 2/276 dan Muslim 1/276. Al-Bukhari no. 756, Muslim no. 394.

(63) Muslim 1/297. Muslim no. 395, an-Nasa-i no. 909. Dan riwayat senada oleh Abu Dawud no. 821, at-Tirmidzi no. 2953, Ibnu Majah no. 3784, Ahmad no. 7289, 7823, dan lihat Shahiih at-Targhiib no. 1455.

(64) Ibnu Abi Hatim 1/19.

(65) Ibnu Abi Hatim 1/20.

===

Maraji'/ sumber: http://baitulkahfitangerang.blogspot.co.id/search/label/shahih%20tafsir%20ibnu%20katsir%20jilid%201

===

Baca juga:

Tafsir Ibnu Katsir: Surat al-Faatihah

Demikianlah tafsir Ibnu Katsir Online Surat al-Fatihah ayat 5.

Tafsir AlQuran Ibnu Katsir: Surat Al-Fatihah Ayat 3 - 4 | Tafsir Ibnu Katsir Indonesia

tafsir alquran ibnu katsir
Tafsir AlQuran Ibnu Katsir. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. Surat al-Faatihah (3-4).

TAFSIR ALQURAN IBNU KATSIR Al-Faatihah, Ayat 3


Firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:

"Ar-Rahmaanir Rahiim."
Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. 1: 3)

Telah dijelaskan pada pembahasan basmalah, sehingga tidak perlu diulang kembali. Al-Qurthubi berkata: "Allah menyifati diri-Nya dengan ar-Rahmaan dan ar-Rahiim setelah Rabbul 'aalamiin, untuk menyertai anjuran (targhiib) setelah peringatan (tarhiib). Sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:

"Kabarkan kepada hamba-hamba-Ku, bahwa sesungguhnya Akulah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan bahwa sesungguhnya adzab-Ku adalah adzab yang sangat pedih." (QS. Al-Hijr: 49-50)

Dan juga firman-Nya:

"Sesungguhnya Rabbmu amat cepat siksaan-Nya, dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-An'aam: 165) (54)

Selanjutnya al-Qurthubi mengatakan: "Ar-Rabb merupakan peringatan, sedangkan ar-Rahmaan dan ar-Rahiim merupakan anjuran."

Dalam Shahiih Muslim disebutkan sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Seandainya seorang mukmin mengetahui siksaan yang ada di sisi Allah, niscaya tidak ada seorang pun yang bersemangat untuk meraih Surga-Nya. Dan seandainya orang kafir mengetahui rahmat yang ada di sisi Allah, niscaya tidak ada seorang pun yang berputus asa dari rahmat-Nya." (55)

TAFSIR ALQURAN IBNU KATSIR Al-Faatihah, Ayat 4


"Maaliki yaumid diin."
Yang menguasai hari pembalasan. (QS. 1: 4)

Makna Pengkhususan al-Maalik (Penguasa) pada Hari Pembalasan

Pengkhususan kekuasaan pada hari Pembalasan tidaklah menafikan kekuasaan Allah atas kerajaan lainnya (kerajaan di dunia). Karena telah disampaikan sebelumnya bahwa Di adalah Rabb semesta alam. Dan kekuasaan-Nya itu umum, baik di dunia maupun di akhirat. Disandarkannya (al-Maalik) kepada kalimat yaumid diin (hari Pembalasan), karena pada hari itu tidak ada seorang pun yang dapat mengaku-aku sesuatu dan tidak juga dapat berbicara kecuali dengan izin Allah. Sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:

"Pada hari ketika ruh dan para Malaikat berdiri bershaff-shaff, mereka tidak berkata-kata, kecuali siapa yang diberi izin kepadanya oleh Rabb Yang Maha Pemurah, dan ia mengucapkan kata yang benar." (QS. An-Naba': 38)

Dan Allah berfirman:

"Dan merendahlah semua suara kepada Yang Maha Pemurah, maka kamu tidak mendengar kecuali bisikan saja." (QS. Thaahaa: 108)

Dia juga berfirman:

"Di kala datang hari itu, tidak ada seorang pun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya, maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia." (QS. Huud: 105)

Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma tentang Maaliki yaumid diin, ia berkata: "Pada hari itu hukum hanyalah milik Allah, tidak seperti ketika mereka hidup di dunia."

Makna Yaumud Diin

Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhuma berkata: "Hari Pembalasan adalah hari Perhitungan bagi semua makhluk, disebut juga hari Kiamat. Mereka diberi balasan sesuai dengan 'amalnya. Jika 'amalnya baik, maka balasannya juga baik. Dan jika 'amalnya buruk, maka balasannya pun buruk kecuali bagi orang yang diampuni." (56)

Hal serupa juga dikatakan oleh Shahabat lainnya radhiyallaahu 'anhum, Tabi'in dan juga para 'ulama Salaf. Dan inilah pendapat yang jelas.

Raja dan Raja Diraja adalah Allah

Raja yang hakiki adalah Allah 'Azza wa Jalla, Dia berfirman:

"Dialah Allah Yang tidak ada ilah (yang berhak diibadahi dengan benar) selain Dia, Raja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera." (QS. Al-Hasyr: 23)

Dalam kitab ash-Shahiihain (Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim), diriwayatkan sebuah hadits marfu' dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Julukan yang paling hina di sisi Allah adalah seorang yang menjuluki dirinya malikul mulk (raja diraja), (karena) tidak ada raja yang sebenarnya kecuali Allah." (57)

Dalam kitab yang sama diriwayatkan juga dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu dari Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, beliau bersabda:

"Allah (pada hari Kiamat) akan menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya, lalu berfirman: 'Di manakah raja-raja bumi? Di manakah mereka yang merasa perkasa? Di mana orang-orang yang sombong?'" (58)

Sedangkan di dalam al-Qur-an disebutkan:

"Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini? Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan." (QS. Al-Mu'-min: 16)

Adapun penyebutan raja bagi selain Allah di dunia hanyalah bersifat majas (kiasan), sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:

"Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." (QS. Al-Baqarah: 247)

Juga firman-Nya:

"Karena di hadapan mereka ada seorang raja." (QS. Al-Kahfi: 79)

Dan juga firman-Nya:

"Ketika Dia mengangkat Nabi-nabi di antaramu, dan menjadikan kamu orang-orang merdeka." (QS. Al-Maa-idah: 20)

Dalam kitab Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim disebutkan sebuah hadits:

"Seperti raja-raja di atas singgasana." (59)

Tafsir ad-Diin

Kata ad-diin berarti pembalasan dan perhitungan. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:

"Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yang setimpal menurut semestinya." (QS. An-Nuur: 25)

Dia juga berfirman:

"Apakah sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi pembalasan?" (QS. Ash-Shaaffaat: 53)

Yakni pembalasan dan perhitungan.

Dalam sebuah hadits, Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Al-Kayyis (orang cerdas dan kuat) adalah orang yang senantiasa bermuhasabah (mengintrospeksi dirinya) dan beramal untuk (kehidupan) setelah kematian." (60)

Artinya, ia akan senantiasa menghisab dirinya, sebagaimana yang dikatakan oleh 'Umar radhiyallaahu 'anhu:

"Hisablah diri kalian sendiri sebelum kalian dihisab, dan timbanglah diri ('amal) kalian sebelum diri ('amal) kalian ditimbang. Dan bersiaplah untuk menghadapi hari yang besar, yakni hari diperlihatkannya 'amal seseorang, sementara semua 'amal kalian tidak tersembunyi dari-Nya. 'Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Rabbmu), tidak ada sesuatu pun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah).' (QS. Al-Haaqqah: 18)." (61)

===

(54) Al-Qurthubi 1/139.

(55) Muslim 4/2109. Muslim no. 2755(23), at-Tirmidzi no. 3542, Ahmad no. 8396, 9153, 10285 dan lihat Shahiih at-Targhiib no. 3379.

(56) Ibnu Abi Hatim 1/19.

(57) Fat-hul Baari 1/604 dan Muslim 3/1688. Al-Bukhari no. 6205, 6206, Muslim no. 2143(20), Abu Dawud no. 4961, at-Tirmidzi no. 2837, Ahmad no. 7325.

(58) Fat-hul Baari 13/404 dan Muslim 4/2148. Al-Bukhari no. 4812, 6519, 7382, Muslim no. 2788(23), Ahmad no. 8850.

(59) Fat-hul Baari 6/89 dan Muslim 3/1518. Al-Bukhari no. 2877, Muslim no. 1912, an-Nasa-i no. 3171 dengan lafazh Mitslu (مِثْلُ).

(60) Ibnu Majah 2/1423. Dha'if: At-Tirmidzi no. 2459, Ibnu Majah no. 4260, Ahmad 4/124 dan didha'ifkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Dha'iiful Jaami' no. 4310 dan Syaikh al-Arna'uth hafizhahullaah, al-Musnad 28/350 no. 17123, cet. Ar-Risalah.

(61) Mushannaf Ibnu Abi Syaibah no. 34459, cet. Maktabah ar-Rusyd, Riyadh.

===

Maraji'/ sumber: http://baitulkahfitangerang.blogspot.co.id/search/label/shahih%20tafsir%20ibnu%20katsir%20jilid%201

===

Baca juga tulisan:

Tafsir Ibnu Katsir: Surat al-Fatihah

Demikianlah tafsir alQuran Ibnu Katsir Surat al-Baqarah ayat 3 - 4.

Tuesday, 5 April 2016

Tafsir al Quran surat al-Faatihah ayat 2 | Tafsir Ibnu Katsir Indonesia

tafsir al quran
Tafsir al-Quran. Al-Faatihah, Ayat 2. Al-Hamdulillaahi Rabbil 'aalamiin. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam. (QS. 1: 2)

Makna Kata al-Hamdu, -pent.


Abu Ja'far bin Jarir berkata: "Makna al-Hamdulillaah adalah bersyukur kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala semata dan bukan kepada sesembahan selain-Nya, bukan juga kepada makhluk yang telah Dia ciptakan, atas segala nikmat yang telah Dia anugerahkan kepada para hamba-Nya yang tidak terhingga jumlahnya. Kenikmatan tersebut berupa kemudahan berbagai sarana untuk menaati-Nya dan anugerah berupa kekuatan fisik untuk dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban dari-Nya. Selain itu Dia telah memberikan rizki kepada mereka di dunia serta melimpahkan berbagai macam kenikmatan dalam hidup mereka, yang (pada dasarnya) mereka sama sekali tidak memiliki hak atas hal itu. Pelimpahan nikmat ini disertai dengan peringatan dan seruan kepada mereka agar menggunakan nikmat-nikmat itu sebagai sebab-sebab (sarana-sarana) yang dapat membawa mereka kepada kekekalan hidup di Surga tempat segala macam kenikmatan yang abadi. Hanya bagi Allah segala puji, di awal maupun di akhir." (44)

Ibnu Jarir rahimahullaah mengatakan: "Al-Hamdulillaahi merupakan pujian Allah bagi diri-Nya. Di dalamnya terkandung perintah kepada hamba-hamba-Nya agar mereka memuji diri-Nya, seolah-olah Dia mengatakan: 'Ucapkanlah al-Hamdulillaah'."

Ada yang mengatakan bahwa ucapan al-Hamdulillaah adalah pujian bagi Allah dengan Nama-nama-Nya yang husna (baik) dan sifat-sifat-Nya yang 'ulya (tinggi). Adapun ucapan asy-Syukru lillaah adalah pujian bagi-Nya atas segala nikmat dan pertolongan-Nya. (45)

Tafsir al-Quran. Perbedaan antara al-Hamdu dan asy-Syukru.


Setelah diteliti, antara keduanya terdapat keumuman dan kekhususan. Al-Hamdu lebih umum dari asy-Syukru jika dilihat dari obyeknya, karena al-hamdu bisa dikaitkan dengan sifat-sifat lazim (tidak berkaitan dengan obyek) dan juga sifat-sifat muta'addi (yang berkaitan dengan obyek) seperti engkau mengatakan: hamid-tuhu lifuruu siyyatihi "حَمِدْتُهُ لِفُرُوْسِيَّتِهِ" (aku memujinya karena sifatnya yang kesatria) dan bisa juga engkau mengatakan: hamid-tuhu likara mihi "حَمِدْتُهُ لِكَرَمِهِ" (aku memujinya karena kedermawanannya). Di satu sisi al-hamdu lebih khusus dari asy-syukru karena al-hamdu hanya bisa diwujudkan dalam bentuk ucapan semata.

Adapun asy-syukru lebih umum dari al-hamdu karena ia bisa diwujudkan melalui ucapan, perbuatan, ataupun niat. Dan ia lebih khusus dari al-hamdu karena hanya berkaitan dengan sifat-sifat muta'addiyah (memiliki obyek). Engkau tidak bisa mengatakan: syakar-tuhu lafuruu siyyatihi "شَكَرْتُهُ لَفُرُوْسِيَّتِهِ" (aku bersyukur kepadanya karena sifatnya yang ksatria). Namun, engkau bisa mengatakan: syakar-tuhu 'ala karamihi wa ihsaanihi ilayya "شَكَرْتُهُ عَلَى كَرَمِهِ وَإِحْسَانِهِ إِلَيَّ" (aku bersyukur kepadanya karena kedermawanan dan kebaikannya kepadaku).

Demikianlah yang disimpulkan oleh sebagian ulama muta-akhkhirin. Wallaahu a'lam.

Abu Nashr Isma'il bin Hammad al-Jauhari mengatakan: "Al-hamdu (pujian) adalah lawan dari adz-dzammu (celaan). Engkau mengatakan: 'Aku memuji seorang laki-laki dengan sebuah pujian.' Orang yang memuji adalah hamiid dan orang yang dipuji adalah mahmuud. At-tahmiid memiliki makna lebih daripada al-hamdu. Al-hamdu lebih umum dari asy-syukru." Ia (Abu Nashr) mengatakan bahwa asy-syukru adalah pujian atas orang yang berbuat kebaikan karena kebaikannta, maka dikatakan: "Syakartuhu" atau, "Syakartu lahu (aku bersyukur kepadanya)." Dan memakai huruf lam itu lebih fasih. Adapun al-mad-hu lebih umum dari al-hamdu, karena al-mad-hu bisa ditujukan kepada orang yang masih hidup ataupun sudah mati dan juga kepada benda mati. Sebagaimana al-mad-hu ditujukan kepada makanan, tempat dan lain sebagainya. Ia bisa diberikan sebelum mendapat kebaikan ataupun setelahnya atas sifat muta'addi (transitif/ memerlukan obyek) maupun lazim (intransitif/ tidak memerlukan obyek).

Ucapan-ucapan Salaf tentang al-Hamdu


Dan diriwayatkan oleh selain Abu Ma'mar, dari Hafsh, ia berkata: "'Umar radhiyallaahu 'anhu berkata kepada 'Ali radhiyallaahu 'anhu -dan para Shahabat radhiyallaahu 'anhum berada di sisinya-: 'Kami telah mengetahui tentang Laa ilaaha illallaah, Sub-haanallaah, dan Allaahu Akbar. Lalu apa al-Hamdulillaah itu?' Maka 'Ali menjawab: 'Ia adalah kalimat yang disukai oleh Allah Ta'ala bagi diri-Nya dan Dia meridhainya bagi diri-Nya serta menyukai kalimat itu diucapkan'." (46)

Dan Ibnu 'Abbas radhiyallaahu 'anhu berkata: "Al-Hamdulillaah adalah kalimat syukur. Apabila seorang hamba mengucapkan al-hamdulillaah, maka Allah berfirman: 'Hamba-Ku telah memuji-Ku." Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim. (47)

Keutamaan al-Hamdu


Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullaah meriwayatkan dari al-Aswad bin Sari' radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Aku berkata kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam: 'Wahai Rasulullah, maukah engkau aku puji dengan segala pujian seperti yang aku berikan kepada Rabbku Tabaaraka wa Ta'aala?' Maka beliau Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: '(Tidak!) Adapun Rabbmu 'Azza wa Jalla sesungguhnya Dia menyukai al-hamdu'." Diriwayatkan juga oleh an-Nasa-i. (48)

Diriwayatkan oleh Abu 'Isa al-Hafizh at-Tirmidzi, an-Nasa-i dan Ibnu Majah dari hadits Musa bin Ibrahim bin Katsir, dari Thalhah bin Khurrasy dari Jabir bin 'Abdillah radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

'Sebaik-baik dzikir adalah kalimat Laa ilaaha illallaah, dan sebaik-baik do'a adalah al-Hamdulillaah.'"

At-Tirmidzi mengatakan: "(Hadits hasan) ini gharib." (49)

Ibnu Majah meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallaahu 'anhu, ia berkata: "Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:

"Tidaklah Allah menganugerahkan suatu nikmat kepada seorang hamba, lalu ia mengucapkan al-hamdulillaah, melainkan apa yang diberikan-Nya itu lebih baik dari apa yang diambil-Nya." (50)

Di dalam kitab Sunan Ibni Majah diriwayatkan dari Ibnu 'Umar radhiyallaahu 'anhuma, bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepada mereka:

'Sesungguhnya seorang dari hamba Allah mengucapkan:

Yaa Rabbi, lakal hamdu kamaa yanba-ghii lijalaali waj-hika wa li'a-zhiimi sul-thaanika
'Ya Rabbku, segala puji bagi-Mu sebagaimana yang layak bagi kemuliaan wajah-Mu dan keagungan kerajaan-Mu.' Maka hal itu membingungkan dua Malaikat (pencatat), mereka tidak tahu bagaimana mencatatnya, maka keduanya naik ke langit menemui Allah, seraya berkata: 'Wahai Rabb kami, sesungguhnya seorang hamba telah mengucapkan sebuah ucapan yang kami tidak tahu bagaimana mencatatnya.' Maka Allah bertanya -dan Dia Maha Mengetahui apa yang diucapkan oleh hamba-Nya-: 'Apa yang diucapkan hamba-Ku?' Kedua Malaikat itu menjawab: 'Wahai Rabb, dia mengatakan: 'Bagi-Mu segala puji sebagaimana kemuliaan wajah-Mu dan keagungan kerajaan-Mu.' Maka Allah berfirman: 'Tulislah sebagaimana yang diucapkan hamba-Ku, hingga ia bertemu dengan-Ku lalu Aku memberinya balasan karenanya.'" (51)

Alif Laam pada Kata al-Hamdu untuk Istighraq


Alif Laam pada kata al-hamdu dimaksudkan untuk istighraq, yakni untuk mencakup segala jenis dan bentuk pujian hanya bagi Allah semata. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

"Ya Allah, bagi-Mu segala pujian seluruhnya, dan bagi-Mu seluruh kerajaan. Di tangan-Mu seluruh kebaikan dan kepada-Mu kembali segala urusan." (52)

Makna ar-Rabb


Ar-Rabb adalah pemilik, penguasa dan pengatur. Menurut bahasa, kata Rabb ditujukan kepada tuan dan kepada siapa yang berbuat untuk perbaikan. Semua itu benar bagi Allah Ta'ala. Kata ar-Rabb tidak digunakan untuk selain Allah, kecuali jika disambung dengan kata lain setelahnya, misalnya rabbud daar (pemilik rumah). Sedangkan nama ar-Rabb (secara mutlak) hanya boleh digunakan oleh Allah 'Azza wa Jalla. Dan ada yang mengatakan bahwa itu adalah al-ismul a'zham (nama yang agung).

Makna al-'Aalamiin


Al-'Aalamiin adalah jamak dari 'alam yang berarti segala sesuatu yang ada selain Allah 'Azza wa Jalla. 'Aalam adalah bentuk jamak yang tidak memiliki bentuk mufrad (bentuk tunggal). Al-'Awaalim berarti berbagai macam makhluk yang ada di langit, bumi, daratan maupun lautan. Dan setiap kurun atau generasi juga disebut 'aalam. Al-Farra' dan Abu 'Ubaid mengatakan: "Al-'Aalam adalah sebuah ungkapan bagi sesuatu yang berakal, yakni manusia, jin, Malaikat dan syaitan. Dan hewan tidak disebut alam."

Diriwayatkan dari Zaid bin Aslam dan Abu Muhaishin: "Al-'Aalam adalah segala sesuatu yang memiliki ruh dan hidup."

Qatadah berkata: "(Rabbil 'aalamiin) maka 'aalamiin adalah seluruh bentuk alam." Az-Zajjaj mengatakan: "Al-'Aalam adalah segala sesuatu yang diciptakan oleh Allah di dunia maupun akhirat."

Al-Qurthubi berkata: "Inilah yang benar, karena ia mencakup seluruh alam (dunia dan akhirat), sebagaimana firman Allah Subhaanahu wa Ta'aala:

"Fir'aun bertanya: 'Siapa Rabb semesta alam itu?' Musa menjawab: 'Rabb Pencipta langit dan bumi dan apa saja yang ada di antara keduanya (itulah Rabbmu), jika kamu sekalian (orang-orang) yang mempercayai-Nya." (QS. Asy-Syu'araa': 23-24)

Alasan Penamaan al-'Aalam


Kata al-'aalam terbentuk (musytaq) dari kata al-'allaamah. Aku (Ibnu Katsir) katakan: "Sebab, alam merupakan bukti yang menunjukkan adanya Pencipta serta menunjukkan keesaan-Nya." (53)

===

(44) Tafsiir ath-Thabari 1/135.

(45) Tafsiir ath-Thabari 1/137.

(46) Ibnu Abi Hatim 1/15.

(47) Ibnu Abi Hatim 1/13.

(48) Ahmad 3/435 dan an-Nasa-i dalam al-Kubra 4/416. Hasan: Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih Adabul Mufrad no. 660.

(49) Tuhfatul Ahwadzi 9/324, an-Nasa-i dalam al-Kubra 6/208 dan Ibnu Majah 2/1249. Hasan: at-Tirmidzi no. 3383, Ibnu Majah no. 3800. Lihat Shahiih at-Targhiib no. 1526.

(50) Ibnu Majah 2/1250. Shahih: Ibnu Majah no. 3805. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih Jami' ash-Shaghiir no. 5563.

(51) Ibnu Majah 2/1249. Dha'if: Ibnu Majah no. 3801. Lihat Dha'iif at-Targhiib wat Tarhiib no. 961.

(52) At-Targhiib wat Tarhiib 2/253.

(53) Al-Qurthubi 1/139.

===

Maraji'/ sumber: http://baitulkahfitangerang.blogspot.co.id/search/label/shahih%20tafsir%20ibnu%20katsir%20jilid%201

===

Baca juga:

Tafsir Ibnu Katsir: Surat al-Faatihah

inilah tafsir surat al-fatihah ayat 2 dalam blog tafsir al-Quran.